Sabtu, 22 Desember 2012

MENGANGKAT TANGAN KETIKA BERDOA [bag 5 Akhir] oleh Amin Saefullah Muchtar


5. Mengangkat Tangan Ketika Bertaubat
عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ عَنِ النَّبِي  r قَالَ: كُلُّ شَيْءٍ يَتَكَلَّمُ بِهِ بْنُ آدَمَ فَإِنَّهُ مَكْتُوبٌ عَلَيْهِ فَإِذَا أَخْطَأَ خَطِيْئَةً فَأَحَبُّ أَنْ يَتُوْبَ إِلَى اللهِ فَلْيَأتِ رَفِيْعَهُ فَلْيَمُدَّ يَدَيْهِ إِلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ ثُمَّ يَقُولُ اَللَّهُمَّ إِنِّي أَتُوبُ إِلَيْكَ مِنْهَا لاَ أَرْجِعُ إِلَيْهَا أَبَدًا فَإِنَّهُ يَغْفِرُ لَهُ مَا لَمْ يَرْجِعْ فِي عَمَلِهِ ذَلِكَ.
Dari Abu ad Darda, r.a. dari Nabi Saw., beliau bersabda,’Segala sesuatu yang diucapkan oleh Ibnu Adam akan dicatat. Apabila berbuat satu kesalahan, sangatlah disukai apabila bertaubat kepada Allah. Bersegeralah memulyakan-Nya lalu tadahkanlah kedua tanganya kepada Allah yang Mahagagah dan Mahamulia kemudian ucapkanlah,’Ya Allah! Sesungguhnya aku bertaubat dari kesalahan itu dan aku tidak akan mengulanginya untuk selamanya”. Sesunguhnya Allah akan mengampuninya selama ia tidak kembali untuk mengulangi kesalahanya itu” H.r. Al Hakim, al Mustadrak, I : 679, Al Baihaqi, as Sunanul Kubra, X : 154, dan Syu’abul Iman, V : 402.

Imam Al Hakim mengatakan dalam kitabnya Al Mustadrak, I : 697, ’Hadis ini shahih sesuai dengan syarat periwayatan As Syaikhain (Bukhari dan Muslim), tetapi keduanya tidak meriwayatkannya (dalam kitab shahihnya)

Rupanya pernyataan Al-Hakim itu tidak dapat di terima begitu saja, karena ternyata sanad hadis ini  dhaif  di sebabkan ke-dhaif-an seorang rawi bernama Fudhail bin Sulaiman an Numair. Sangat disayangkan Al-Hakim sama sekali tidak menyinggung keberadaan rawi yang dhaif ini.[1]
C. hadis yang dianggap sebagai dalil umum 
C.1. Dalam Bentuk Khobariyyah
Pertama
عَنْ سَلْمَانَ الْفَارِسِيِّ عَنِ النَّبِيِّ  r قَالَ إِنَّ اللهَ حَيِيٌّ كَرِيمٌ يَسْتَحْيِي إِذَا رَفَعَ الرَّجُلُ إِلَيْهِ يَدَيْهِ أَنْ يَرُدَّهُمَا صِفْرًا خَائِبَتَيْنِ. رَوَاهُ التِّرْمِذِيُ
Dari Salman al Farisiy dari Nabi Saw. bahwa beliau bersabda,’Sesungguhnya Allah memiliki sifat Maha Pemalu Mahamulia, Ia akan teramat merasa malu apabila seseorang (berdoa) dengan mengangkat kedua tanganya lalu dikembalikan keduanya dalam keadaan hampa”.
H.r. At Tirmidzi, Sunan at Tirmidzi, V : 520, Al Hakim, al Mustadrak, I : 497,  Al Bazar, Musnad al Bazar, VI : 478, Ibnu Hiban, Shahih Ibnu Hiban, II : 119 & 120, Al Baihaqi, as Sunanul Kubra, II : 211, Abu Daud, Sunan Abu Daud, I : 334, As Syihab, Musnad as Syihab, II : 165, Al Haitsami, Mawariduzh Zhamaan, I : 596, Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, IV : 282, Ahmad, Musnad al Imam Ahmad, XXXIX : 120, At Thabrani, al Mu’jamul Kabir, VI : 314, Al Bagowi, Syarhus Sunnah, V : 185, Al Khatib, Tarikhul Bagdad, VIII : 317.

Sanad hadis ini dhaif. Seluruh jalur periwayatannya bertumpu kepada tiga orang rawi yang dhaif, yaitu Ja’far bin Maimun, Sulaiman At Taimi, dan Abu al Mu’alla. Ketiga rawi ini sama-sama menerima dari Abu Usman an Nahdi dari Salman al Farisi dari Nabi Saw. [2]
Di sisi lain, hadis ini pun  diriwayatkan secara mauquf oleh Ibnu Abu Syaibah, Mushanaf, VII : 122, Al Hakim, al Mustadrak, I : 497, Hanad bin as Sarriy, Az Zuhdu, II : 629, Ahmad, al Mausuatul Haditsiyah, Musnad al Imam Ahmad, XXXIX : 120, At Thabrani, al Mu’jamul Kabir, VI : 309, dengan lafal demikian  berikut :
إِنَّ اللهَ يَسْتَحْيِ أَنْ يَبْسُطَ إِلَيْهِ عَبْدٌ يَدَيْهِ يَسْأَلُهُ بِهِمَا خَيْرًا فَيَرُدَّهُمَا خَائِبَتَيْنِ.
Sesungguhnya Allah Merasa teramat malu apabila seorang hamba menadahkan kedua tanganya, memohon kepadaNya kebaikkan kemudian Ia mengembalikan keduanya dalam keadaan hampa”.[3]
Dalam hadis lainnya diterangkan masih dari shahabat Salman dengan lafal:
عَنْ سَلْمَانَ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ  r  مَا رَفَعَ قَوْمٌ  أُكَفَّهُمْ  إِلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ يَسْأَلُوْنَهُ شَيْئًا إِلاَّ كَانَ حَقًّا عَلَى اللهِ أَنْ يَضَعَ فِي أَيْدِيْهِمُ الَّذِي سَأَلُوهُ. رواه الطبراني، المعجم الكبير 6: 312. الهيثمي، مجمع الزوائد 10: 172.
Dari Salman, ia berkata,’Rasulullah Saw. bersabda,’Tidaklah satu kaum mengangkat telapak-telapak tangan mereka,  memohon sesuatu kepada Allah Azza wa Jalla melainkan berhak bagi Allah untuk menyimpan pada telapak-telapak tangan itu apa yang dimohonkan oleh mereka kepada-Nya” H.r. At Thabrani, al Mu’jamul Kabir, VI : 312, Al Haitsami, Majmauz Zawaid, X : 172
Sedangkan dalam riwayat Ad Dailami pada kitabnya al Firdaus Bima’tsuril Khithab, IV : 358, dengan lafal :
مَا رَفَعَ قَوْمٌ أُكَفَّهُمْ يَمِيْناً وَشِمَالاً إِلاَّ كَانَ حَقًّا عَلَى اللهِ أَنْ يَضَعَ فِي أَيْدِيْهِمُ الَّذِي سَأَلُوا
Tidaklah suatu kaum mengangkat tangan mereka (berdoa) yang kanan dan yang kiri melainkan hak bagi Allah untuk meletakkan pada tangan-tangan iyu apa yang dimohonkan oleh mereka. H.r. Ad Dailami, al Firdaus Bima’tsuril Khithab, IV : 358. Kedua hadis ini pun dhaif, karena pada sanadnya terdapat seorang rawi bernama Sa’id bin Iyas Al Jariri yang dijarh ke-tsiqat-annya.[4].
Kedua
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ   r إِنَّ اللهَ رَحِيْمٌ حَيٌّ كَرِيْمٌ يَسْتَحْيِي مِنْ عَبْدِهِ أَنْ يَرْفَعَ إِلَيْهِ يَدَيْهِ ثُمَّ لاَ يَضَعُ فِيْهِمَا خَيْرًا.رواه الحاكم 1: 497. الجامع لمعمر بن راشد 10: 443. عبد الرزاق 2: 251. ابو يعلى 7: 142، ابو نعيم، حلية الأولياء 8: 131.
Dari Anas bin Malik r.a. ia berkata,’Rasulullah Saw. bersabda,’Sesungguhnya Allah Mahapenyayang, Memiliki sifat malu, Mahamulia, Ia merasa malu dari hambaNya apabila hamba itu mengangkat tangannya (berdoa) kepadaNya lalu Ia tidak menyimpan kebaikkan pada keduanya”.  Al Hakim, al Mustadrak, I : 497, Ma’mar bin Rasyid, al Jami’, X : 443, Abdurrazaq, Mushanaf, II : 251, Abu Ya’la, Musnad Abu Ya’la, VII : 142.[5]
Dalam lafal lainnya diterangkan:
عَنْ رَبِيْعَةَ بْنِ أَبِي عَبْدِالرَّحْمَنِ قَالَ سَمِعْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ الله   r إِنَّ اللهَ جَوَّادٌ كَرِيْمٌ يَسْتَحْيِ مِنَ الْعَبْدِ الْمُسْلِمِ إِذَا دَعَاهُ أَنْ يَرُدَّ يَدَيْهِ صِفْرًا لَيْسَ فِيْهِمَا شَيْءٌ وَإِذَا دَعَا الْعَبْدُ فَأَشَارَ بِأُصْبُعِهِ قَالَ الرَّبُ أَخْلَصَ عَبْدِي وَإِذَا رَفَعَ يَدَيْهِ قَالَ اللهُ إِنِّي أَسْتَحْيِ مِنْ عَبْدِي أَنْ أَرُدَّهُ. رواه  ابو نعيم، حلية الأولياء 3: 263.
Dari Rabiah bin Abu Abdurrahman, ia mengatakan,’Saya mendengar Anas bin Malik berkata,’Rasulullah Saw. bersabda,’Sesungguhnya Allah Mahabaik, Mahamulia, Ia merasa teramat malu dari seorang hamba muslim apabila ia berdoa kepada-Nya lalu dikembalikan kedua tangan itu dalam keadaan hampa tidak ada sedikit pun (kebaikan) pada keduanya. Dan Apabila seorang hamba itu berdoa, ia mengisyaratkan dengan telunjuknya, Tuhanku berfirman,’Hamba-Ku telah iklash. Dan apabila ia mengangkat kedua tanganya, Allah berfirman,’Sesungguhnya Aku teramat malu terhadap hamba-Ku untuk menolaknya.
H.r. Abu Nuaim, Hilyatul Auliya, III : 263.
Dan hadis ini dhaif[6] 
Ketiga
عَنْ جَابِرٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ  r أَنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ حَيِّيٌ كَرِيْمٌ يَسْتَحْيِي مِنْ عَبْدِهِ أَنْ يَرْفَعَ إِلَيْهِ يَدَيْهِ فَيَرُدُّهُمَا صَفْرًا لَيْسَ فِيْهِمَا شَىْءٌ.رواه الطبراني، المعجم الاوسط 5: 298. ابو يعلى 3: 391.
Dari Jabir, ia mengatakan, Rasulullah Saw. bersabda,’Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla memiliki sifat Pemalu dan Mahamulia, Ia merasa teramat malu dari hambaNya apabila hamba itu mengangkat kedua tanganya (berdoa) kepadaNya lalu dikembalikan keduanya dalam keadaan hampa yang tidak ada sesuatu pun (kebaikan) pada keduanya”. H.r. At Thabrani, al Mu’jamul Ausath, V : 298, Abu Ya’la, Musnad Abu Ya’la, III : 391.[7]

Dalam Bentuk Insyaiyyah
Pertama
 عَنِ ابْنِ مُحَيْرِيْزٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ  r  إِذَا سَأَلْتُمُ اللهَ فَاسْأَلُوهُ بِبُطُونِ أُكَفِّكُمْ  وَلاَ تَسْأَلُوهُ بِظُهُورِهَا رواه ابن أبي شيبة
Dari Ibnu Muhairiz mengatakan,’Rasulullah saw. bersabda,’Apabila kalian memohon kepada Allah, mohonlah kepada-Nya dengan membuka telapak tangan mu dan janganlah kamu memohon kepada-Nya dengan menutupkanya. H.r. Ibnu Abi Syaibah, AL-Mushanaf, VII : 64.
Hadis ini daif karena mursal.[8]
Kedua 
عَنْ مَالِكِ بْنِ يَسَارٍ السَّكُونِيِّ ثُمَّ الْعَوْفِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللهِ  r قَالَ إِذَا سَأَلْتُمُ اللهَ فَاسْأَلُوهُ بِبُطُونِ أَكُفِّكُمْ وَلاَ تَسْأَلُوهُ بِظُهُورِهَا رواه ابو داود و الطبراني و أبو بكر الشيباني
Dari Malik bin Yasar as Sakuni, al ‘Aufi, bahwa Rasulullah saw. bersabda,’ ’Apabila kalian memohon kepada Allah, mohonlah kepada-Nya dengan membuka telapak tangan mu dan janganlah kamu memohon kepada-Nya dengan menutupkanya. H.r. Abu Daud, Sunan Abu Daud, I : 334, At Thabrani, Musnad as Syamiyyin, II : 432, Abu Bakar As Syaibani, Al Ahad wal Matsani, IV : 410.
Sanad hadis ini daif, disebabkan ke-daif-an dua orang rawi yang bernama Dhamdham dan Ismail bin ‘Ayyas.[9]
Ketiga
 وَعَنْ أَبِي بَكْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ r قَالَ سَلُوا اللهَ بِبُطُونِ أُكَفِّكُمْ  وَلاَ تَسَلُوهُ بِظُهُوْرِهَا.
Dari Abu Bakrah, sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda,’mohonlah kamu kepada Allah dengan membuka telapak tangan mu dan janganlah kamu memohon kepada-Nya dengan menutupkanya.
hadis ini daif disebabkan kesalahan periwayatan rawi bernama Khalid al Hadzai’.[10]
Keempat
عَنْ خَالِدِ بْنِ الْوَلِيْدِ أَنَّهُ شَكَا إِلَى رَسُولِ اللهِ  r اَلضَيِّقَ فِي مَسْكَنِهِ  فَقَالَ اِرْفَعْ إِلَى السَّمَاءَِ وَسَلِ اللهَ السَّعَةَ.رواه الطبراني
Dari Khalid bin Al Walid, bahwasanya ia mengadu kepada Rasulullah saw. tentang kesulitan yang menimpa keluarganya, Nabi saw. bersabda,’Angkatlah (kedua tanganmu) kelangit dan mintalah kelapangan”. H. r. At Thabrani, al Mu’jamul Kabir, IV : 137

Al Haetsami mengatakan,’Hadis di atas diriwayatkan oleh At Thabrani dengan dua sanad, salah satu dari keduanya itu hasan. Majma’uz Zawaid, X : 169.[11]
Kelima
عَنْ عِكْرِمَةَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ الْمَسْأَلَةُ أَنْ تَرْفَعَ يَدَيْكَ حَذْوَ مَنْكِبَيْكَ أَوْ نَحْوَهُمَا وَالاسْتِغْفَارُ أَنْ تُشِيرَ بِأُصْبُعٍ وَاحِدَةٍ وَالابْتِهَالُ أَنْ تَمُدَّ يَدَيْكَ جَمِيعًا. رواه أبو داود
Dari ‘Ikrimah dari Ibnu Abbas, ia mengatakan,’Dalam memohon (berdoa) hendaklah kamu mengangkat kedua tanganmu sejajar dengan kedua bahumu atau berbatasan dengan keduanya. Dalam beristighfar, hendahlak berisyarat dengan satu jari, dan dalam beribtihal, hendaklah mengulurkan (membentangkan) kedua tanganmu seluruhnya. H.r. Abu Daud, Sunan Abu Daud, I : 334
Abu Daud dalam meriwayatkan hadis di atas menggunakan dua bentuk
a.    Secara mauquf (hanya sampai kepada sahabat / ucapan seorang sahabat)
b.    Secara marfu’ (sampai kepada Nabi / sabda Nabi)
Berdasarkan penelitian kami, maka periwayatan yang marfu’ itu daif.[12]



[1] Tentang Fudhail bin Sulaiman An Numair disampaikan oleh Abbas Ad Duawari yang menyempaikan komentar  dari Yahya bin Ma’in,’Ia rawi yang tidak tsiqah”. Abu Zur’ah menyatakan,’Layyinul Hadis”. Menurut Abu Hatim,’Hadisnya dicatat, ia rawi yang tidak tsiqah”. An Nasai mengatakan,’Ia tidak tsiqah”. Ibnu ‘Adi, Ibnul Jauzi, dan Ad Dzahabi, mengelompokkanya kedalam rawi yang dhaif”. Ibnu Hajar menerangkan dalam kitabnya at Tahdzib,’Shalih bin Muhamad Jazarah mengatakan,’Munkarul Hadis, bila meriwayatkan dari Musa bin ‘Uqbah”. Sedangkan dalam kitabnya at Taqrib, beliau mengatakan,’Ia rawi yang shuduq tetapi kesalahanya  teramat banyak”. Tahdzibul Kamal, XXIII : 271-275.


[2] a. Ja’far bin Maimun. Ia adalah Ja’far bin Maimun at Tamimi Abu Ali. Ada yang mengatakan juga Abu al ‘Awam al Anmathi. Abdullah bin Ahmad mengatakan dari Ayahnya,’Ia tidak kuat dalam urusan hadis”. Abbas ad Duwari mengatakan dari Yahya bin Ma’in,’Laisa bidzaka. Dalam kesempatan lain ia mengatakan,’Shalihul Hadis, dan kesempatan lain pula ia mengatakan,’Ia tidak kuat”. Menurut Abu Hatim,’Shalih” An Nasai mengatakan,’Ia rawi yang tidak kuat”. Ad Daraquthni mengatakan,’Yu’tabaru bihi”. Al Bukhari mengatakan,’Laisa bis syaiin”. Dan Ibnu Hajar mengatakan,’Ia rawi yang jujur tetapi banyak salah”. Tahdzibul Kamal, V : 114-115.
b. Sulaiman At Taimi. Ia adalah Sulaiman bin Tharkhan at Taimiy, Abu al Mu’tamir al Bashri. Wafat Th. 143 H.
Ia seorang ahli hadis sebagaimana dikatakan oleh Ali bin Al Madini. Al Bukhari mengatakan dari Ali bin Al Madini, ‘Ia memiliki dua ratus hadis”. Abdullah bin Ahmad mengatakan dari ayahnya,’Ia rawi yang tsiqat dan periwayatannya yang diterima dari Abu Usman lebih aku sukai dari pada periwayatan Ashim al Ahwal. Dan menurut Al Mizi, ia rawi Jama’ah (Al Bukhari, Muslim, Abu Daud, At Tirmidzi, An Nasai, Ibnu Majah, dan Ahmad). Tahdzibul Kamal XII : 5-12.
Dalam Thabaqatul Mudallisin, I : 33 dan Tahdzibut Tahdzib, Ibnu Ma’in dan An Nasai menyatakan bahwa Sulaiman At Taimi mudallis. Kaidah ulumul hadis menyatakan bahwa seorang rawi mudallis apabila meriwayatkan dengan bentuk ‘an (dari), maka periwayatannya itu munqathi (terputus) dan tertolak. Lihat Manhajun Naqd, : 384.
Dengan demikian, periwayatan Sulaiman At Taimi dari Abu Usman dalam masalah ini tertolak karena dalam periwayatannya menggunakan lafal atau bentuk ‘an.
c. Abu Al Mu’alla.
Dalam kitab rijal-rijal hadis, kami dapati rawi bernama Abu Al Mu’alla yang menerima dari Abu Usman An Nahdi itu ada dua orang. 1. Ja’far bin Maimun. Al Mugni fid Du’afa, I : 135. 2. Yahya bin Maimun ad Dlabbayyu. Tahdzibul Kamal, XXXII : 15-17. Seandainya yang dimaksud dalam periwayatan Abu Abdullah al Mahamili, dalam kitabnya Amaliyul Mahamiliy, 1: 380, dan Al Bagowi, Syarhus Sunnah, V : 185, itu Ja’far bin Maimun, rawi ini dhaif. Tetapi jika yang dimaksud Yahya bin Maimun, ia seorang rawi yang tsiqat tetapi mudalis. Lihat Tahdzibul Kamal, XXXII : 15-17.
Dengan tidak adanya kejelasan siapa yang dimaksud, maka periwayatan Al Mahamili dan Al Bagawi tidak dapat dijadikan hujjah sama sekali. Sebab dalam periwayatan keduannya hanya di sebut Abu Al Mu’alla.

[3] Menurut Syu’aib Al Arna’uth, sanad hadis mauquf ini shahih. Al Mausuatul Haditsiah, Musnad al Imam Ahmad, XXXIX : 120


[4] Al Haetsami mengatakan dalam kitabnya Maj’mauz Zawaid, ‘Rawi-rawi hadis riwayat At Thabrani di atas adalah rawi-rawi yang shahih. Tetapi setelah diteliti lebih jauh ternyata terdapat seorang rawi bernama Sa’id bin Iyas Al Jariri yang diperbincangkan. Dalam kitab Ma’rifatus Tsiqat, I : 394, diterangkan,’ Sa’id bin Iyas Al Jariri, ia seorang rawi yang tsiqat, tetapi mukhtalit pada ahir hayatna. Di antara orang yang meriwayatkan setelah beliau mukhtalith: 1. Yazid bin Harun. 2. Ibnu Mubarak. 3. Ibnu Adi.  Maka siapa saja yang meriwayatkan dari Sa’id, sethobaqah dengan mereka, periwayatannya itu setelah Sa’id mukhtalith. Sedangkan oarang yang meriwayatkan sebelum beliau muhktalith: 1. Hamad bin Salamah 2. Ismail bin Ulayah. 3. Abdul ‘Ala. Dan yang paling shahih dari antara mereka tentang pen-sima-an dari Sa’id sebelum muhktalith ialah Sufyan Tsauri dan Syu’bah.
Karena yang meriwayatkan dari Sa’id bin Iyas Al Jariri pada sanad hadis di atas itu, adalah rawi bernama Syadad bin Sa’id Abu Thalhah Ar Rasibi, maka hemat kami ia meriwayatkan setelah Sa’id muhktalith. Disamping itu ia seorang rawi shuduq tetapi banyak salah sebagaimana yang dinyatakan oleh Ibnu Hajar dalam kitabnya Taqribut Tahdzib, I : 264.

[5] Dalam riwayat Al Hakim, terdapat rawi bernama Amir bin Yasaf. Ia adalah Amir bin Abdullah bin Yasaf. Ia termasuk rawi yang diperbincangkan. Abu Hatim mengatakan,’Ia rawi yang shalih’. Al Jarhu wat Ta’dil, VI : 329.
Berkata Ad Duwari dan Ibnu Al Barqani dari Yahya bin Ma’in,’Ia rawi yang tsiqah. Ibnu Hiban mencantumkannya dalam kitabnya at Tsiqah”. Ibnu Hajar mengatakan dalam kitabnya Ta’jilul Manfaah, bahwa pernyataan tsiqat Yahya bin Ma’in terhadap Amir bin Yasaf itu diperselisihkan. Ibnu Adi mengatakan,’Munkarul Hadits ‘Anis Tsiqaathi (hadisnya diingkari dari rawi yang tsiqah). Kemudian beliau mengatakan,’Bersamaan dengan ke-dhaif-an rawi ini, hadisnya dicatat”. Menurut Abu Daud,’Laisa bihi ba’sun, ia seorang yang shalih”. Al ‘Ijli mengatakan,’Hadisnya dicatat, dan padanya terdapat ke-dhaif-an. Sedangkan Abbas ad Duwari mengatakan dari Yahya,’Laisa bis Syai’in”. Lisanul Mizan, III : 224. Ta’jilul Manfaah , I : 206 CD,
Dalam Riwayat Abu Ya’la, terdapat rawi bernama Shalih. Ia adalah Shalih bin Basyir bin Wada’ bin Ubay bin Abu al ‘Aq’as al Qari, Abu Bisyr al Bashri yang dikenal dengan sebutan Al Murrayi. Abdullah bin Ali bin Al Madini mengatakan,’Saya bertanya kepada ayahku tentang rawi bernama Shalih Al Murrayi, beliau sangat mendhaifkannya”. An Nasai mengatakan,’Hadisnya dhaif, baginya memiliki hadis-hadis yang munkar. Dalam kesempatan lain beliau mengatakan,’Matrukul hadits”. Dan Al Bukhari mengatakan,’Munkarul hadits”. Tahdzibul Kamal, XIII : 16-23.
Dalam riwayat Ma’mar bin Rasyid, Abdurrazaq, dan Abu Nuaim, terdapat rawi bernama Aban. Ia adalah Aban bin Abu ‘Ayasy, namanya adalah Fairuz, Abu Ismail Al Bashri. Muawiyah bin Shalih mengatakan dari Yahya bin Ma’in,’Ia rawi yang dhaif”. Abu Hatim Ar Razi dan An Nasai menyatakan,’Matrukul hadis”. Tahdzibul Kamal, II : 19- 23.


[6] Pada sanad hadis ini terdapat rawi bernama Habib. Ia adalah Habib bin Abu Habib, nama aslinya ialah Ibrahim, disebut juga dengan nama Ruzeq, seorang katib (sekretaris atau juru tulis) Anas bin Malik. Abu Daud mengatakan,’Ia termasuk rawi yang sangat pendusta”. An Nasai dan Abul Fath al Azadzi menyatakan,’Matrukul hadits”. Ibnu Adi dalam kitabnya al Kamil mengatakan,’Seluruh hadisyang diriwayatkannya palsu”. Tahdzibul Kamal, V : 366- 370.

[7] Sanad sanad hadis ini dhaif, disebabkan kedhaifan rawi bernama Yusuf bin Muhamad bin Al Munkadir. Abu Zur’ah mengatakan,’Shalih, ia seorang rawi yang paling sedikit meriwayatkan hadis dari saudaranya Al Munkadir Ibnu Ahmad”. Menurut Abu Hatim,’Ia rawi yang tidak kuat, hadisnya dicatat”. Abu ‘Ubaid al Ajari mengatakan dari Abu Daud,’Ia rawi dhaif”. An Nasai menyatakan,’Ia rawi yang tidak tsiqah”, dalam kitabnya ad Dua’fa beliau menyatakan,’Matrukul hadits”. Dan ke-dhaif-an rawi ini disepakati pula oleh Al ‘Uqaili, Ibnul Jauzi, Ad Dzahabi dan Ibnu Hajar. Tahdzibul Kamal, XXXII : 456-457.

[8] Ibnu Muhairiz sebagai periwayat hadis di  atas adalah seorang Tabi’in. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Abdil Barr dalam kitabnya At Tamhid, XXIII : 289.

[9] -Nama lengkapnya Dhamdham bin Zur’ah bin Tsub al Hadrami al Himshi. Menurut Ad Dzahabi dalam kitabnya al Kasyif, I : 510, bahwa rawi ini diperselisihkan tentang ke-tsiqat-anya. Usman bin Sa’id ad Darimi mengatakan dari Yahya bin Ma’in,’Ia rawi yang tsiqat”. Abu Hatim menyatakan,’Daif”. Ibnu Hiban memasukan rawi ini dalam kitabnya at Tsiqat”. Tahdzibul Kamal XIII : 327-328. Ibnu Hajar menerangkan dalam kitabnya Tahdzibut Tahdzib, IV : 405, bahwa Ahmad bin Isa mengatakan ‘La ba’sa bihi. Sedangkan dalam kitabnya at Taqrib, I : 280, beliau mengatakan,’Shaduqun Yahimu” (jujur tetapi waham (mengira-ngira, menduga-duga) dalam periwayatan)
Adapun tentang Ismail bin ‘Ayyas, Imam At-Tirmidzi dan Ad-Daraquthni mengatakan, “Ia seorang rawi yang mudalis.” Ta’liq ‘ala Sunan Ibnu Majah, I : 437. Al-Bukhari mengatakan, “Apabila ia menyampaikan hadis dari rawi yang satu daerah dengannya,  hadisnya itu sahih. Tetapi apabila menyampaikan hadis bukan dari rawi yang sedaerah dengannya, maka tidaklah ia teranggap.” Tahdzibul Kamal, III : 177. Menurut Dr Qasim Ali Sa’ad dalam kitabnya ‘Manhaj al Imam an Nasai fil Jarhi wat Ta’dil, IV : 1901, para tokoh ahli jarh wat ta’dil telah sepakat  bahwasa hadis Ismail bin ‘Ayyasy itu bisa dijadikan sebagai hujjah apabila ia menerima hadis dari seorang ahli (hadis) atau seorang rawi yang bisa dijadikan sebagai hujjah (tsiqat). Adapun hadis yang ia riwayatkan dari orang-orang Hijaj dan Irak, maka hadisnya tidak bisa dijadikan hujjah. Dan inilah kesimpulan dari pendapat ulama Jumhur.  Dengan keterangan para ulama di atas, jelaslah bahwa periwayatan Ismail itu tidak dapat diterima, karena ia meriwayatkan hadis tersebut dari seorang rawi yang tidak dapat dijadikan sebagai hujjah, yakni rawi bernama Dhamdham.

[10] Al Haetsami menerangkan dalam kitabnya Majma’uz Zawaid X : 169, bahwa lafal hadis ini diriwayatkan oleh At Thabrani. Menurut beliau bahwa rawi-rawi hadis ini adalah rawi yang shahih. Namun kami tidak mendapatkan lafal hadis ini dalam periwayatan At Thabrani sebagaimana yang dikatakan oleh Al Haetsami. Kami temukan lafal hadis itu dalam kitab ‘Ilal ad Daraquthni, VII : 175, ketika beliau (Ad Daraquthni) di tanya tentang hadis Abdurrahman bin Abu Bakrah dari ayahnya (Abu Bakrah), beliau menjawab,’Al Qashim bin Malik al Muzani telah meriwayatkanya dari Khalid al Hadzai’ dari Abdurrahman bin Abu Bakrah dari ayahnya, di situ terjadi kesalahan atas periwayatan Khalid. Yang benar, Al Qashim menerima hadis itu dari Khalid, ia (Khalid) terima dari Abu Qilabah dari Muhairiz secara mursal dari Nabi saw.

[11]  Hemat kami, periwayatan At Thabrani itu sebenarnya satu sanad. Kerena At Thabrani meriwayatkan hadis itu melalui rawi yang bernama Ya’qub bin Humaeid. Ia menerima dari dua orang yaitu 1. Dari Abdullah bin Abdullah Al Amawi. 2. Dari Abdullah bin Sa’id. Keduanya menerima dari Al Yasa’ bin Al Mughirah, dari bapaknya, dari Khalid bin Al Walid. Sedangkan yang melalui Abdullah bin Sa’id Al Yasa’ itu menerima secara langsung dari Khalid bin Al Walid tanpa menyebut bapaknya.  Sanad hadis ini daif karena rawi bernama Al Yasa’ bin Al Mughirah, tidak terlapas dari kritikan para ulama. Menurut Abu Hatim,’Ia rawi yang tidak tsiqat”, Ibnu Hiban mencantumkannya dalam kitabnya ‘at Tsiqat”. Ad Dzahabi menerangkannya dalam kitabnya al Mizan,’Ia seorang rawi yang shoduq”, Ibnu Hajar menilainya,’Layyinul hadits”. Tahdzibul Kamal, XXXII : 301-302. Dalam kitab al Mughni fid Duafa, II : 756, Mizanul ‘Itidal, VII : 271, diterangkan bahwa Ibnu Sirin menyatakan shaduq, berkata Abu Hatim,’Ia tidak kuat’.

[12] Periwayatan Abu Daud yang marfu sanadnya daif karena terdapat inqitha (putus) pada sanadnya. Yakni antara Ibrahim bin Abdullah bin Ma’bad dengan Ibnu Abbas. Disamping itu kami tidak mendapatkan keterangan dari seorang pun tentang ke-tsiqat-annya selain Ibnu Ibnu Hajar dengan kata-kata ‘Shaduq”. Lihat Tahdzibul Kamal,II : 130, at Tarikhul Kabir, I : 302, al Jarhu wat Ta’dil, II : 108, Masyahiru ‘Ulamail Amshar, I : 143, at Tsiqat, VI : 6, Taqribut Tahdzib, I : 91, al Kasyif, I : 216.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar