Perayaan Tahun Baru Masehi merupakan ritual pesta akhir-awal
tahun yang sudah membudaya di seluruh penjuru dunia. Umat Islam pun
merasa minder dan aneh kalau tidak turut merayakannya. Padahal tidak ada
yang layak dirayakan sama sekali dari Tahun Baru, terlebih memang Nabi
saw tegas melarangnya.Larangan merayakan tahun baru diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dan an-Nasa`i dalam kitab Sunan-nya:
عَنْ أَنَسٍ قَالَ قَدِمَ رَسُولُ اللهِ الْمَدِينَةَ
وَلَهُمْ يَوْمَانِ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَقَالَ: مَا هَذَانِ
الْيَوْمَانِ. قَالُوا كُنَّا نَلْعَبُ فِيهِمَا فِى الْجَاهِلِيَّةِ.
فَقَالَ رَسُولُ اللهِ : إِنَّ اللهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا
مِنْهُمَا يَوْمَ الأَضْحَى وَيَوْمَ الْفِطْرِ
Dari Anas, ia berkata: Ketika Rasulullah saw datang ke
Madinah, penduduknya mempunyai dua hari yang biasa dirayakan (Nairuz dan
Mihrajan). Tanya Rasul saw: "Ada apa dengan dua hari itu?" Mereka
menjawab: "Kami sudah biasa merayakannya sejak zaman jahiliyyah." Sabda
Rasul saw: "Sesungguhnya Allah telah menggantikan untuk kalian dua hari
tersebut dengan dua hari yang lebih baik, yaitu hari Adlha dan hari
Fithri." (Sunan Abi Dawud kitab as-shalat bab shalat al-'idain no. 1136
dan Sunan an-Nasa`i kitab shalat al-'idain no. 1567).
Imam al-A’zhim Abadi menjelaskan bahwa dua hari yang dimaksud
adalah hari Nairuz dan Mihrajan. Keduanya merupakan dua perayaan
Jahiliyyah. Hari Nairuz adalah hari pertama dalam perhitungan tahun
bangsa Arab yang diukurkan ketika matahari berada pada pada titik
bintang haml/aries. Hari Nairuz dalam perhitungan tahun matahari versi
bangsa Arab sama dengan hari pertama Muharram dalam tahun berdasarkan
bulan (Hijriah). Merayakan hari Nairuz artinya merayakan tahun baru
matahari (Masehi). Sementara hari Mihrajan adalah hari pertengahan
tahun, tepatnya ketika matahari berada pada titik bintang mizan/gemini
di awal musim semi, pertengahan antara musim dingin dan panas
('Aunul-Ma'bud bab shalatil-‘idain). Ini berarti bahwa hadits di atas
dengan tegas menyatakan perayaan tahun baru masehi sebagai perayaan
jahiliyyah yang harus ditinggalkan, bukan diikuti meski dengan kemasan
yang agak berbeda. Hadits di atas juga hanya membatasi dua hari yang
boleh dirayakan hanya pada ‘Idul-Fithri dan ‘Idul-Adlha saja.
Dalam hal ini, shahabat ‘Abdullah ibn ‘Amr sampai menyatakan:
مَنْ بَنَى بِأَرْضِ الْمُشْرِكِينَ وَصَنَعَ نَيْرُوزَهُمْ
وَمِهْرَجَانَهمْ وَتَشَبَّهَ بِهِمْ حَتَّى يَمُوت حُشِرَ مَعَهُمْ يَوْم
الْقِيَامَة
Siapa yang membangun rumah di negeri orang-orang musyrik,
turut terlibat dalam perayaan Nairuz dan Mihrajan mereka, dan
bertasyabbuh dengan mereka sampai ia meninggal, maka kelak akan
dikumpulkan bersama mereka pada hari kiamat (‘Aunul-Ma’bud kitab
al-libas bab fi labsis-syuhrah).
Pernyataan Shahabat Ibn ‘Amr tersebut terkait sabda Nabi saw:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
Siapa yang menyerupai satu kaum, maka ia termasuk bagian dari
mereka (Sunan Abi Dawud kitab al-libas bab fi labsis-syuhrah no. 4033.
Al-Hafizh Ibn Hajar dan al-Albani menilai hadits ini hasan)Syaikhul-Islam Ibn Taimiyyah dalam kitabnya,
Iqtidla`us-Shirathil-Mustaqim, sebagaimana dikutip Imam al-‘Azhim Abadi
dalam kitab ‘Aunul-Ma’bud menjelaskan bahwa hadits ini menyiratkan
haramnya tasyabbuh dengan orang kafir. Imam Ahmad ibn Hanbal di antara
yang berhujjah seperti ini. Hadits ini,
menurut Ibn Taimiyyah semakna dengan firman Allah swt:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan
orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai wali-wali (orang yang dekat dan
dicintai); sebahagian mereka adalah wali bagi sebahagian yang lain.
Siapa di antara kamu menjadikan mereka sebagai wali, maka sesungguhnya
orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi
petunjuk kepada orang-orang yang zhalim (QS. al-Ma`idah [5] : 51).Wali artinya al-mahabbah al-qarb; yang dicintai dan dekat. Demikian
dijelaskan oleh Ibn Taimiyyah dalam risalahnya, al-Furqan baina
Auliya`ir-Rahman wa Auliya`is-Syaithan. Orang yang merayakan Tahun Baru,
artinya sudah terlalu dekat, simpati, dan cinta kepada orang-orang
kafir yang menjadi sumber awal perayaan tersebut. Berarti ia bagian dari
mereka, meski tidak sampai kafir mutlak/murtad.
Terlebih fakta ilmiah tahun baru membuktikan “kebodohan” fatal
perayaan tersebut. Sebab penentuan tahun dalam kalender masehi
benar-benar tidak mencerminkan tahun yang sebenarnya. Klaimnya, kalender
masehi dirujukkan pada peredaran bumi mengelilingi matahari yang
lamanya 365 hari 5 jam 48 menit 45,1814 detik. Kalau kemudian ditetapkan
satu tahun 365 hari, tentu itu bukan tahun yang sebenarnya, sebab masih
kurang sekitar 6 jam. Kekurangan tersebut kemudian dibulatkan pada
tahun kabisat (setiap 4 tahun sekali) menjadi 366 hari dengan
menambahkan satu hari pada Februari menjadi 29 hari (seperti pada tahun
2012). Itu pun untuk tahun yang yang bisa dibagi 100 (seperti tahun
1900) bukan tahun kabisat, kecuali bisa dibagi dengan 400 (seperti tahun
2000). Jadi kalau tahun baru dirayakan setiap tahun oleh bangsa Barat
dan pengekornya pada tanggal 1 Januari jam 00.00, sebenarnya itu adalah
perayaan palsu. Sebab pada jam tersebut hitungan sebenarnya belum genap
satu tahun. Hitungan menjadi genap satu tahun kalau sudah ditambahkan
sekitar 6 jam untuk tahun pertama sesudah kabisat (contoh 2013. Tahun
kabisat sebelumnya 2012). Jadi yang benar bukan jam 00.00 tahun baru
pada 2013 itu, melainkan “sekitar” jam 06.00 pagi. Untuk tahun kedua
sesudah kabisat (2014) “sekitar” jam 12.00, tahun ketiga (2015) “sekitar
jam” 18.00, dan tahun kabisat berikutnya (2016) baru sekitar jam 00.00.
Penyebutan “sekitar” itu disebabkan memang tidak bisa dipastikan,
karena berdasarkan hitungan resminya lebih dari 365 hari itu adalah 5
jam 48 menit 45,1814 detik atau kurang dari 6 jam. Tetapi itu semua
tidak menjadi problem bagi para penganut kalender masehi, sebab mereka
sudah tidak peduli dengan “kebenaran”, yang penting ramai. Jadi
sebenarnya jika mereka benar-benar ingin merayakan Tahun Baru 2014,
semestinya bukan tanggal 1 Januari jam 00.00 wib, tetapi jam 12.00
siang.
Kepalsuan lainnya, tahun baru masehi dirayakan setiap jam
00.00 tanggal 1 Januari. Di Madura dirayakan jam 00.00, di Surabaya,
Bandung, dan Jakarta juga jam 00.00, padahal posisi matahari pada jam
00.00 di keempat daerah tersebut tidak mungkin sama. Ketika di Madura
pada jam 00.00 matahari sudah dinyatakan masuk tahun baru, maka pasti di
Surabaya, Bandung, Jakarta sampai ke Barat di Sumatera, posisi matahari
belum sampai pada fase tahun baru. Gambaran sederhananya, ketika di
Madura sudah adzan Maghrib karena matahari sudah terbenam, di Surabaya
belum, demikian juga di Bandung dan Jakarta. Beda waktu tempuh matahari
antara Madura-Surabaya 3 menit, Madura-Bandung 24 menit, Madura-Jakarta
27 menit. Jadi semestinya jika di Madura ditiup terompet jam 00.00, di
Surabaya jam 00.03, di Bandung jam 00.24, dan di Jakarta jam 00.27.
Hal ini berbeda dengan penghitungan tahun Islam (Hijriah) yang
didasarkan pada fakta yang sebenarnya. Satu tahun terdiri dari 12 bulan
(QS. At-Taubah [9] : 36). Satu bulan itu sendiri didasarkan pada
penghitungan yang sebenarnya, yakni dari mulai bulan sabit, bulan
purnama, sampai bulan mati. Maka tanggal 1 Muharram, betul-betul
mencerminkan bulan yang baru berumur 1 hari. Bulan Muharram 29 hari dan
Shafar 30 hari, benar-benar menunjukkan usia bulan di kedua bulan
tersebut yang 29 dan 30 hari. Sehingga kalender Islam tidak perlu
dikoreksi dengan tahun kabisat. Berbeda dengan tahun masehi, tanggal 1
Januari tidak mencerminkan hari pertama dari bulan baru. Sebagaimana
nanti akan tersaksikan, tanggal 1 Januari 2014, bulan sudah hampir lewat
satu bulan (sudah masuk hari ke-29). Dan tanggal 14 januari tidak
mencerminkan usia bulan yang masuk hari ke-14 (purnama), karena bulan
ternyata baru berusia 12 hari. Ironi lainnya ada pada jumlah hari dalam
satu bulan. Januari misalnya, jumlahnya 31 hari, padahal tidak mungkin
bulan berumur 31 hari, sebab umur bulan hanya 29-30 hari. Atau Februari
28 hari, padahal tidak mungkin bulan berumur 28 hari.
Semua ini semestinya membuka mata dan hati umat Islam bahwa
merayakan Tahun Baru, selain tegas dilarang oleh Nabi saw, juga penuh
dengan “kebodohan” alias Jahiliyyah. Na’udzubillah min dzalik.
Wal-'Llahu A'lam
Oleh : Dr. Nashruddin Syarief M.Pd.I
Sumber : Catatan Persatuan Islam ( PERSIS)
Selasa, 31 Desember 2013
HADIS AQIQAH DIBAGIKAN MASAK Oleh Amin Saefullah Muchtar
Kebolehan daging aqiqah dibagikan dalam keadaan masak didasarkan pada hadis sebagai berikut:
Ishaq bin Rahawaih meriwayatkan melalui Abdul Malik, dari Atha, dari Abu Kurz, dari Ummu Kurz, ia berkata:
قَالَتْ امْرَأَةٌ مِنْ أَهْلِ عَبْدِ الرَّحْمنِ بْنِ أَبِي بَكْرٍ إنْ وَلَدَتْ امْرَأَةُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ غُلاَمُا نَحَرْنَا عَنْهُ جَزُورًا فَقَالَتْ عَائِشَةُ لَا بَلْ السُّنَّةُ عَنْ الْغُلَامِ شَاتَانِ مُكَافَأَتَانِ وَعَنْ الْجَارِيَةِ شَاةٌ يُطْبَخُ جُدُولًا وَلَا يُكْسَرُ لَهَا عَظْمٌ فَيَأْكُلُ وَيُطْعِمُ وَيَتَصَدَّقُ يَفْعَلُ ذلِكَ فِي الْيَوْمِ السَّابِعِ فَإِنْ لَمْ يَفْعَلْ فَفِي أَرْبَعَةَ عَشْرَةَ فَإِنْ لَمْ يَفْعَلْ فَفِي إحْدَى وَعِشْرِينَ
Seorang perempuan dari keluarga Abdurrahman bin Abu Bakar berkata jika istri Abdurrahman melahirkan anak laki-laki, kami akan menyembelih kambing. Maka Aisyah berkata, “Tidak perlu, bahkan sunah (yaitu) dua kambing untuk anak laki-laki dan satu kambing untuk anak perempuan. Dimasak anggota badannya dan tidak dihancurkan tulang-tulangnya, lalu makan, dibagikan dan disadaqahkan. Hal itu dilakukan pada hari ke-7, jika tidak bisa pada hari ke-14, jika tidak bisa pada hari ke-21” Lihat, Musnad Ishaq bin Rahawaih, III:692, No. hadis 1292
Keterangan:
1. Hadis di atas dikategorikan sebagai hadis mauquf (ucapan Aisyah)
2. Pada hadis ini digunakan ungkapan yuthbakhu judulan. Artinya aqiqah itu dimasak sepenggal-sepenggal. Dengan demikian, menurut hadis ini aqiqah itu dimasak dengan cara “seanggota-seanggota badannya”, tidak boleh direcah sehingga anggota-anggotanya terpotong-potong, tidak boleh pula tulangnya pecah-pecah atau terpotong-potong.
Namun dalam riwayat al-Hakim melalui Muhamad bin Ya’qub as-Syaibani, dari Ibrahim bin Abdullah, dari Yazid bin Harun, dari Abdul Malik bin Abu Sulaiman, dari Atha, dari Ummu Kurz dan Abu Kurz, mereka berdua berkata:
نَذَرَتْ امْرَأَةٌ مِنْ آلِ عَبْدِ الرَّحْمنِ بْنِ أَبِي بَكْرٍ إنْ وَلَدَتْ امْرَأَةُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ نَحَرْنَا جَزُورًا فَقَالَتْ عَائِشَةُ لَا، بَلْ السُّنَّةُ أَفْضَلُ عَنْ الْغُلَامِ شَاتَانِ مُكَافَأَتَانِ وَعَنْ الْجَارِيَةِ شَاةٌ تُقْطَعُ جُدُولًا وَلَا يُكْسَرُ لَهَا عَظْمٌ فَيَأْكُلُ وَيُطْعِمُ وَيَتَصَدَّقُ وَلْيَكُنْ ذَاكَ يَوْمَ السَّابِعِ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فَفِي أَرْبَعَةَ عَشَرَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فَفِي إحْدَى وَعِشْرِينَ
Seorang perempuan dari keluarga Abdurrahman bin Abu Bakar bernazar jika istri Abdurrahman melahirkan, kami akan menyembelih kambing. Maka Aisyah berkata, “Tidak perlu, bahkan sunah lebih utama (yaitu) dua kambing untuk anak laki-laki dan satu kambing untuk anak perempuan. Dipotong-potong anggota badannya dan tidak dihancurkan tulang-tulangnya, lalu makan, dibagikan dan disadaqahkan. Lakukanlah itu pada hari ke-7, jika tidak bisa lakukanlah pada hari ke-14, jika tidak bisa lakukanlah pada hari ke-21” Kata al-Hakim, “Ini hadis sahih sanad, dan keduanya (al-Bukhari-Muslim) tidak meriwayatkannya” Lihat, al-Mustadrak, IV:266, No. hadis 7595
Pada hadis ini digunakan ungkapan tuqtha`u judulan. Kata tuqtha`u artinya dipotong. Sedangkan kata judulan adalah bentuk jamak (plural) dari kata Jidlun, artinya “anggota”.
Dengan demikian, pada hadis ini tidak terdapat keterangan aqiqah itu dimasak, namun hanya diterangkan mesti dipotong dengan cara “seanggota-seanggota badannya”, tidak boleh direcah sehingga anggota-anggotanya terpotong-potong, tidak boleh pula tulangnya pecah-pecah atau terpotong-potong.
Sedangkan dalam riwayat al-Baihaqi melalui Ali bin Ahmad bin Abdan, dari Ahmad bin Ubed, dari Usman bin Umar, dari Musaddad, dari Abdul Waris, dari Amir al-Ahwal, dari Atha, dari Ummu Kurz, dengan redaksi langsung tanpa diterangkan kisah nadzarnya juga tidak disertai komentar dari Aisyah, sebagai berikut:
عَنْ أُمِّ كُرْزٍ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- :« عَنِ الْغُلاَمِ شَاتَانِ مُكَافَأَتَانِ وَعَنِ الْجَارِيَةِ شَاةٌ
Dari Ummu Kurz, ia berkata, “Rasulullah saw. Bersabda, ‘Dua kambing untuk anak laki-laki dan satu kambing untuk anak perempuan’.”
Setelah itu al-Baihaqi menyertakan keterangan Atha bin Rabah dengan dua redaksi sebagai berikut:
Pertama (jalur Amir al-Ahwal):
تُقْطَعُ جُدُولاً وَلاَ يُكْسَرُ لَهَا عَظْمٌ أَظُنُّهُ قَالَ وَتُطْبَخُ قَالَ وَقَالَ عَطَاءٌ : إِذَا ذَبَحْتَ فَقُلْ بِسْمِ اللَّهِ وَاللَّهُ أَكْبَرُ هَذِهِ عَقِيقَةُ فُلاَنٍ
“Dipotong-potong anggota badannya dan tidak dihancurkan tulang-tulangnya” Kata rawi (Amir): aku menduga ia mengatakan: “tuthbakhu (dimasak)” Ia (Amir) berkata, “Atha berkata, ‘Apabila kamu hendak menyembelih ucapkanlah: Bismillah wallahu Akbar, ini aqiqah si Polan’.”
Kedua (jalur Ibnu Jurej):
تُقْطَعُ آرَابًا آرَابًا وَتُطْبَخُ بِمَاءٍ وَمِلْحٍ وَيُهْدِى فِى الْجِيرَانِ
“dipotong seanggota-seanggota, dimasak dengan air dan garam, dihadiahkan kepada tetangga”
Semua keterangan di atas tercatat dalam karya al-Baihaqi, as-Sunan al-Kubra, IX:302, No hadis 19.765
Analisa
Ketiga riwayat di atas menunjukkan 3 versi. Pertama, versi Ishaq bin Rahawaih, yaitu Aisyah mengatakan aqiqah itu dimasak sepenggal-sepenggal. Kedua, versi al-Hakim, yaitu Aisyah mengatakan aqiqah itu dipotong sepenggal-sepenggal, bukan dimasak. Ketiga, versi al-Baihaqi bahwa yang mengatakan aqiqah itu dimasak sepenggal-sepenggal adalah Atha, bukan Aisyah. Padahal jalur periwayatan ketiga versi itu sama, yaitu dari Atha, dari Ummu Kurz. Jadi, mana yang benar?
Hemat kami yang benar adalah versi ketiga, yaitu aqiqah dimasak sepenggal-sepenggal semata-mata hanya pendapat Atha bin Abu Rabah, seorang tabi’in (w. 114 H), bukan pendapat Aisyah. Karena versi pertama (dimasak) dan kedua (dipotong), kedua-duanya daif, yaitu terjadi inqitha (keterputusan sanad) antara Atha dan Ummu Kurz, karena Atha tidak pernah menerima hadis apapun dari Ummu Kurz, sebagaimana dinyatakan oleh para ulama hadis, antara lain Ali bin al-Madini.
رَأَى ابْنَ عُمَرَ وَلَمْ يَسْمَعْ مِنْهُ وَرَأَى أَبَا سَعِيْدٍ الْخُدْرِيِّ يَطُوْفُ بِالْبَيْتِ وَلَمْ يَسْمَعْ مِنْهُ وَلَمْ يَسْمَعْ مِنْ زَيْدِ بْنِ خَالِدٍ وَ لاَ مِنْ أُمِّ سَلَمَةَ وَ لاَ مِنْ أُمِّ هَانِى وَ لاَ مِنْ أُمِّ كُرْزٍ شَيْئًا
Ia melihat Ibnu Umar dan tidak menerima hadis darinya. Melihat Abu Sa’id al-Khudriyyi dan thawaf di Baitullah dan tidak menerima hadis darinya. Ia tidak menerima hadis dari Zaid bin Khalid, Ummu Salamah, Ummu Hani, dan Ummu Kurz. Lihat, Tahdzib at-Tahdzib, karya Ibnu Hajar (w. 852 H), VII:202; Tuhfah at-Tahshil fi Dzikr Ruwah al-Marasil, karya al-‘Iraqi (w. 826 H), I:228.
Selain itu, dengan memperhatikan riwayat al-Baihaqi, kuat dugaan bahwa kalimat
تُقْطَعُ جُدُولًا...
Pada versi pertama dan kedua merupakan idraj (sisipan kalimat) dari Atha bin Abu Rabah.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa anjuran agar aqiqah dimasak dahulu sebelum dibagikan/dibagikan dalam keadaan masak bukan bagian dari syariat Islam.
Langganan:
Postingan (Atom)