Sabtu, 22 Desember 2012

ANALISA PENDAPAT IBNU HAJAR TENTANG ISBAL (3) oleh Ustad Amin Saefullah Muchtar


B.  Shighah at-Tamridh (ustudilla) tidak selalu menunjukkan pendapat yang lemah menurut Ibnu Hajar.
Ibnu Hajar berkata:
قَوْلُهُ وَتَصُوْمُ رَمَضَانَ أُسْتُدِلَّ بِهِ عَلَى قَوْلِ رَمَضَانَ مِنْ غَيْرِ إِضَافَةِ شَهْرٍ إِلَيْهِ
“Perkataannya: tashuumu Ramadhan. Di-istidlal dengannya (kebolehan) mengucapkan Ramadhan tanpa kata bulan (bulan Ramadhan)”. Lihat, Fath al-Bari, Dar al-Ma’rifah, Beirut, 1379 H, I:120
Ibnu Hajar berkata:
قَوْلُهُ إِرْتَحِلُوْا بِصِيْغَةِ الأَمْرِ أُسْتُدِلَّ بِهِ عَلَى جَوَازِ تَأْخِيْرِ الْفَائِتَةِ عَنْ وَقْتِ ذِكْرِهَا إِذَا لَمْ يَكُنْ عَنْ تَغَافُلٍ أَوِ اسْتِهَانَةٍ
“Perkataannya: Irtahiluu, dengan bentuk perintah. Di-istidlal dengannya kebolehan yang fait (kehilangan waktu mengerjakan) mengakhirkan dari waktu ingatnya apabila bukan pura-pura lengah atau menganggap enteng”. Lihat, Fath al-Bari, Dar al-Ma’rifah, Beirut, 1379 H, I:450
Ibnu Hajar berkata:
قَوْلُهُ مُرُوْا أَبَا بَكْرٍ فَلْيُصَلِّ أُسْتُدِلَّ بِهِ عَلَى أَنَّ الآمِرَ بِالأَمْرِ بِالشَّيْءِ يَكُوْنُ آمِرًا بِهِ وَهِيَ مَسْأَلَةٌ مَعْرُوْفَةٌ فِي أُصُوْلِ الْفِقْهِ وَأَجَابَ الْمَانِعُوْنَ بِأَنَّ الْمَعْنَى بَلِّغُوْا أَبَا بَكْرٍ أَنِّي أَمَرْتُهُ وَفَصْلُ النِّزَاعِ أَنَّ النَّافِى إِنْ أَرَادَ أَنَّهُ لَيْسَ أَمْرًا حَقِيْقَةً فَمُسَلَّمٌ لأَنَّهُ لَيْسَ فِيْهِ صِيْغَةُ أَمْرٍ للثَّانِى وَإِنْ أَرَادَ أَنَّهُ لاَ يَسْتَلْزِمُهُ فَمَرْدُوْدٌ وَاللهُ أَعْلَمُ
Perkataannya: muruu Aba Bakrin fal yushalli. Di-istidlal dengannya bahwa pemberi perintah dengan perintah mengerjakan sesuatu berarti ia pemberi perintah mengerjakan sesuatu itu. Dan itu masalah yang dikenal dalam ushul fiqh. Mereka yang menolak itu menjawab bahwa makna hadis itu adalah sampaikanlah kepada Abu Bakar sesungguhnya Aku memerintahnya. Dan pemutus pertentangan itu jika maksud yang menolak itu bukan perintah hakiki maka dapat diterima, karena padanya tidak terdapat shigah amr untuk pihak ke-2. Dan jika maksudnya bahwa perintah itu  tidak mengandung keharusan, maka tertolak”. Lihat, Fath al-Bari, Dar al-Ma’rifah, Beirut, 1379 H, II:125
Ibnu Hajar berkata:
قَوْلُهُ فِي الْمُصْحَفِ أُسْتُدِلَّ بِهِ عَلَى جَوَازِ قِرَاءَةِ الْمُصَلِّي مِنَ الْمُصْحَفِ وَمَنَعَ مِنْهُ آخَرُوْنَ لِكَوْنِهِ عَمَلاً كَثِيْرًا فِي الصَّلاَةِ
“Perkataannya: Fil Mushaf. Di-istidlal dengannya yang salat boleh membaca surat dari mushaf. Dan yang lain melarangnya, karena (membaca dari mushaf itu) banyak beramal dalam salat”. Lihat, Fath al-Bari, Dar al-Ma’rifah, Beirut, 1379 H, II:185

Ibnu Hajar berkata:
قَوْلُهُ كُنَّا نَفْعَلُهُ فَنُهِيْنَا عَنْهُ وَأُمِرْنَا أُسْتُدِلَّ بِهِ عَلَى نَسْخِ التَّطْبِيْقِ الْمَذْكُوْرِ بِنَاءً عَلَى أَنَّ الْمُرَادَ بِالآمِرِ وَالنَّاهِى فِي ذَلِكَ هُوَ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم وَهذِهِ الصِّيْغَةُ مُخْتَلَفٌ فِيْهَا وَالرَّاجِحُ أَنَّ حُكْمَهَا الرَّفْعُ
“Perkataannya: Kunnaa naf’aluhu fanuhiinaa ‘anhu. Di-istidlal dengannya bahwa tatbiq yang disebutkan telah dimansukh berdasarkan atas pertimbangan bahwa yang dimaksud dengan yang memerintah dan melarang tentang hal itu adalah Nabi saw. Dan sighah (bentuk periwayatan) ini dipertentangkan. Dan yang rajih (kuat) bahwa hukumnya mafru (bersumber dari Nabi)”. Lihat, Fath al-Bari, Dar al-Ma’rifah, Beirut, 1379 H, II:273
Ibnu Hajar berkata:
قَوْلُهُ السَّلاَمُ عَلَيْنَا أُسْتُدِلَّ بِهِ عَلَى اسْتِحْبَابِ الْبَدَاءَةِ بِالنَّفْسِ فِي الدُّعَاءِ وَفِي التَّرْمِذِيِّ مُصَحَّحًا مِنْ حَدِيْثِ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا ذَكَرَ أَحَدًا فَدَعَا لَهُ بَدَأَ بِنَفْسِهِ وَأَصْلُهُ فِي مُسْلِمٍ وَمِنْهُ قَوْلُ نُوْحٍ وَإِبْرَاهِيْمَ عَلَيْهِمَا السَّلاَمُ كَمَا فِي التَّنْزِيْلِ
“Perkataannya: as-Salaamu ‘alainaa. Di-istidlal dengannya bahwa dalam berdoa disunatkan memulai dengan diri sendiri. Dan pada riwayat at-Tirmidzi yang disahihkan dari hadis Ubay bin Ka’ab bahwa Rasulullah saw. bila menyebut seseorang yang didoakan beliau (doa kebaikan), beliau memulai dengan dirinya sendiri. Dan sumber asalnya dalam riwayat Muslim. Dan darinya ucapan Nuh  as (Q.s. Nuh:28) dan Ibrahim as (Q.s. Ibrahim:40-41), sebagaimana dalam Alquran”. Lihat, Fath al-Bari, Dar al-Ma’rifah, Beirut, 1379 H, II:314

Ibnu Hajar berkata:
قَوْلُهُ فَإِذَا خَشِىَ أَحَدُكُمُ الصُّبْحَ أُسْتُدِلَّ بِهِ عَلَى خُرْوْجِ وَقْتِ الْوِتْرِ بِطُلُوْعِ الْفَجْرِ وَأَصْرَحَ مِنْهُ مَا رَوَاهُ أَبُوْ دَاوُدَ وَالنَّسَائِيُّ وَصَحَّحَهُ أَبُوْ عَوَانَةَ وَغَيْرُهُ مِنْ طَرِيْقِ سُلَيْمَانَ بْنِ مُوسَى عَنْ نَافِعٍ أَنَّهُ حَدَّثَهُ أَنَّ ابْنَ عُمَرَ كَانَ يَقُولُ : مَنْ صَلَّى مِنَ اللَّيْلِ فَلْيَجْعَلْ آخِرَ صَلاَتِهِ وِتْرًا ، فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم كَانَ يَأْمُرُ بِذَلِكَ ، فَإِذَا كَانَ الْفَجْرُ فَقَدْ ذَهَبَ كُلُّ صَلاَةِ اللَّيْلِ وَالْوِتْرُ وَفِي صَحِيْحِ بْنِ خُزَيْمَةَ مِنْ طَرِيْقِ قَتَادَةَ عَنْ أَبِيْ نَضْرَةَ عَنْ أَبِيْ سَعِيْدٍ مَرْفُوْعًا مَنْ أَدْرَكَ الصُّبْحَ وَلَمْ يُوتِرْ فَلاَ وُتِرَ لَهُ وَهذَا مَحْمُوْلٌ عَلَى التَّعَمُّدِ أَوْ عَلَى أَنَّهُ لاَ يَقَعُ أَدَاءً  
“Perkataannya: Faidzaa khasyia ahadukum as-shubha. Di-istidlal dengannya bahwa waktu witir itu habis dengan terbitnya fajar. Hal itu dijelaskan oleh hadis riwayat Abu Daud dan an-Nasai dan dinyatakan sahih oleh Abu Awanah dan lainnya, melalui Sulaiman bin Musa, dari  Nafi, ia menceritakan bahwa Ibnu Umar berkata, ‘Siapa yang salat malam, jadikanlah witir sebagai akhir salatnya, karena Rasulullah saw. memerintah hal itu. Maka setiap salat malam dan witir telah habis. Dan dalam Shahih Ibnu Khuzaimah, melalui Qatadah, dari Abu Nadhrah, dari Abu Sa’id secara marfu’: ‘Siapa yang dapat memperoleh waktu subuh dan ia belum witir, maka tidak ada witir baginya. Dan ini dimaknai secara sengaja atau bukan sebagai waktu ada” Lihat, Fath al-Bari, Dar al-Ma’rifah, Beirut, 1379 H, II:240
Ibnu Hajar berkata:
قَوْلُهُ كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم يُصَلِّي مِنَ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى أُسْتُدِلَّ بِهِ عَلَى فَضْلِ الْفَصْلِ لِكَوْنِهِ أَمَرَ بِذَالِكَ وَفَعَلَهُ وَأَمَّا الْوَصْلُ فَوَرَدَ مِنْ فِعْلِهِ فَقَطْ
“Perkataannya: Kaanan Nabiyyu shallallahu ‘alihi wasallam yushalli minallaili matsnaa matsnaa. Di-istidlal dengannya bahwa yang utama itu memisah rakaat. Karena itu diperintah (qauli) dan diperbuat oleh Nabi (fi’li). Adapun menyambung rakaat datang dari perbuatan beliau (fi’li) saja” Lihat, Fath al-Bari, Dar al-Ma’rifah, Beirut, 1379 H, II:486

Sebagian bukti di atas menunjukkan bahwa teori yang menyatakan Ibnu Hajar menggunakan redaksi “ustudilla“untuk menyebutkan pendapat yang menurutnya lemah adalah teori yang lemah.

C. Pendapat yang lemah menurut Ibnu Hajar, bukan karena teori Shighah at-Tamridh (ustudilla) semata-mata.

Ibnu Hajar berkata:
قَالَ قُوْمُوْا أُسْتُدِلَّ بِهِ عَلَى تَرْكِ الْوُضُوْءِ مِمَّا مَسَّتِ النَّارُ لِكَوْنِهِ صَلَّى بَعْدَ الطَّعَامِ وَفِيْهِ نَظَرٌ لِمَا رَوَاهُ الدَّارَقُطْنِي فِي غَرَائِبَ مَالِكٍ عَنِ الْبَغَوِي عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَوْنٍ عَنْ مَالِكٍ وَلَفْظُهُ صَنَعَتْ مُلَيْكَةُ لِرَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم طَعَامًا فَأَكَلَ مِنْهُ وَأَنَا مَعَهُ ثُمَّ دَعَا بِوَضُوْءٍ فَتَوَضَّأَ الْحَدِيْثَ
“Perkataannya: Quumuu. Di-istidlal dengannya tidak perlu berwudu sebab memakan makanan dimasak karena Nabi salat setelah makan. Dan pada istidlaal itu perlu ditinjau ulang karena hadis riwayat ad-Daraquthni dalam garaib Malik, dari al-Baghawi, dari Abdullah bin ‘Aun, dari Malik, dan lafalnya Mulaikah membuat makanan bagi Rasulullah saw. lalu beliau makan darinya dan saya bersama beliau. Kemudian beliau meminta air wudu, lalu berwudu…(bacalah selengkapnya) hadis itu.” Lihat, Fath al-Bari, Dar al-Ma’rifah, Beirut, 1379 H, I:490
Ibnu Hajar berkata:
وَقِدِ اسْتُدِلَّ بِقَوْلِهَا غَمَزَنِي عَلَى أَنَّ لَمْسَ الْمَرْأَةِ لاَ يَنْقُضُ الْوُضُوْءَ وَتُعُقِّبَ بِاحْتِمَالِ الْحَائِلِ أَوْ بِالْخُصُوْصِيَّةِ وَعَلَى أَنَّ الْمَرْأَةَ لاَ تَقْطَعُ الصَّلاَةَ
“Di-istidlal dengan perkataannya (Aisyah): ‘Beliau merabaku dengan tangannya’ bahwa menyentuh perempuan tidak membatalkan wudu. Dan istidlaal itu dibantah dengan (argumen) mengandung kemungkinan adanya penghalang atau kekhususan dan bahwa perempuan tidak membatalkan salat” Lihat, Fath al-Bari, Dar al-Ma’rifah, Beirut, 1379 H, I:492
Ibnu Hajar berkata:
قَوْلُهُ صَلَّيْتُ خَلْفَ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ، أَنَا وَعِمْرَانُ أُسْتُدِلَّ بِهِ عَلَى أَنَّ مَوْقِفَ الإِثْنَيْنِ يَكُوْنُ خَلْفَ الإِمَامِ خِلاَفًا لِمَنْ قَالَ يَجْعَلُ أَحَدُهُمَا عَنْ يَمِيْنِهِ وَالآخَرُ عَنْ شِمَالِهِ وَفِيْهِ نَظَرٌ لأَنَّهُ لَيْسَ فِيْهِ أَنَّهُ لَمْ يَكُنْ مَعَهُمَا غَيْرُهُمَا وَقَدْ تَقَدَّمَ أَنَّ ذلِكَ كَانَ بِالْبَصْرَةِ
“perkataannya: Shallaitu khalfa Aliyyibni Abi Thalibin Ana wa Imran. Di-istidlal dengannya bahwa posisi makmum dua orang adalah di belakang imam. Berbeda dengan orang yang berpendapat salah seorang darinya ditempatkan di sebelah kanan imam dan yang lain di sebelah kirinya.  Dan pada istidlaal itu perlu ditinjau ulang karena pada hadis itu tidak diterangkan bahwa tidak ada yang lain selain mereka berdua. Dan telah terdahulu keterangan bahwa kejadian itu di Bashrah” Lihat, Fath al-Bari, Dar al-Ma’rifah, Beirut, 1379 H, II:271
Ibnu Hajar berkata:
قَوْلُهُ إِذَا قَالَ الإِمَامُ الخ أُسْتُدِلَّ بِهِ عَلَى أَنَّ الإِمَامَ لاَ يَقُوْلُ رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ وَعَلَى أَنَّ الْمَأْمُوْمَ لاَ يَقُوْلُ سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ لِكَوْنِ ذلِكَ لَمْ يُذْكَرْ فِي هذِهِ الرِّوَايَةِ كَمَا حَكَاهُ الطَّحَاوِي وَهُوَ قَوْلُ مَالِكٍ وَأَبِي حَنِيْفَةَ وَفِيْهِ نَظَرٌ لأَنَّه لَيْسَ فِيْهِ مَا يَدُلُّ عَلَى النَّفْيِ بَلْ فِيْهِ أَنَّ قَوْلَ الْمَأْمُوْمِ رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ عَقْبَ قَوْلِ الإِمَامِ سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ
“perkataannya: Idza qaalal imam hingga akhir. Di-istidlal dengannya bahwa imam tidak tasbih (mengucapkan rabbana lakal hamdu) dan makmum tidak tasmi’ (mengucapkan sami’allahu liman hamidah) karena hal itu tidak disebutkan dalam riwayat ini, sebagaimana dihikayatkan oleh at-Thahawi, dan itu pendapat Malik dan Abu Hanifah, Dan istidlaal itu perlu ditinjau ulang, karena padanya tidak terdapat petunjuk peniadaan, namun yang ada bahwa tasbih makmum mengikuti tasmi’ imam” Lihat, Fath al-Bari, Dar al-Ma’rifah, Beirut, 1379 H, II:283
Ibnu Hajar berkata:
قَوْلُهُ خَسَفَتِ الشَّمْسُ فِى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَصَلَّى أُسْتُدِلَّ بِهِ عَلَى أَنَّهُ صلى الله عليه و سلم كَانَ يُحَافِظُ عَلَى الْوُضُوْءِ فَلِهذَا لَمْ يَحْتَجْ إلَى الْوُضُوْءِ فِي تِلْكَ الْحَالِ وَفِيْهِ نَظَرٌ لأَنَّ فِي السِّيَاقِ حَذْفًا  
“perkataannya: Khasafatis syamsu fi ‘ahdi Rasulillah shallallahu ‘alaihi wasallam fa shalla. Di-istidlal dengannya bahwa beliau tetap memelihara wudu, karenanya beliau tidak memerlukan wudu pada keadaan itu. Istidalaal itu perlu ditinjau ulang, karena pada susunan redaksi itu ada yang dibuang” Lihat, Fath al-Bari, Dar al-Ma’rifah, Beirut, 1379 H, II:530
Sebagian bukti di atas menunjukkan bahwa yang menjadi patokan suatu pendapat dianggap lemah menurut Ibnu Hajar adalah pernyataan Ibnu Hajar sendiri, bukan teori Shighah at-Tamridh (ustudilla).
D. Shighah at-Tamridh (ustudilla) digunakan pula untuk menunjukkan ikhtilaf pendapat, lalu Ibnu Hajar memilih yang rajih (kuat), namun terkadang tidak memilih.
Ibnu Hajar berkata:
قَوْلُهُ فَأَمِّنُوْا أُسْتُدِلَّ بِهِ عَلَى تَأْخِيْرِ تَأْمِيْنِ الْمَأْمُوْمِ عَنْ تَأْمِيْنِ الإِمَامِ لأَنَّهُ رُتِّبَ عَلَيْهِ بِالْفَاءِ لكِنْ تَقَدَّمَ فِي الْجَمْعِ بَيْنَ الرِّوَايَتَيْنِ أَنَّ الْمُرَادَ الْمُقَارَنَةُ وَبِذلِكَ قَالَ الْجُمْهُوْرُ وَقاَلَ الشَّيْخُ أَبُوْ مُحَمَّدٍ الْجُوَيْنِي لاَ تُسْتَحَبُّ مُقَارَنَةُ الإِمَامِ فِي شَيْءٍ مِنَ الصَّلاَةِ غَيْرَهُ قَالَ قَالَ إمَامُ الْحَرَمَيْنِ : وَيُمْكِنُ تَعْلِيلُهُ بِأَنَّ التَّأْمِينَ لِقِرَاءَةِ الْإِمَامِ لَا لِتَأْمِينِهِ فَلِذلِكَ لاَ يَتَأَّخَرُ عَنْهُ وَهُوَ وَاضِحٌ ثُمَّ إِنَّ هذَا الأَمْرُ عِنْدَ الْجُمْهُوْرِ لِلنَّدْبِ وَحَكَى بْنُ بَزِيزَةَ عَنْ بَعْضِ أَهْلِ الْعِلْمِ وُجُوْبَهُ عَلَى الْمَأْمُوْمِ عَمَلاً بِظَاهِرِ الأَمْرِ قَالَ وَأَوْجَبَهُ الظَّاهِرِيَّةُ عَلَى كُلِّ مُصَلٍّ ثُمَّ فِي مُطْلَقِ أَمْرِ الْمَأْمُوْمِ بِالتَأْمِيْنِ أَنَّهُ يُؤَمِّنُ وَلَوْ كَانَ مُشْتَغِلاًّ بِقِرَاءَةِ الْفَاتِحَةِ وَبِهِ قَالَ أَكْثَرُ الشَّافِعِيَّةِ ...
“perkataannya: faamminu. Di-istidlal dengannya bahwa ucapan aamien makmum diakhirkan dari ucapan aamien imam. Karena lafal itu ditetapkan dengan huruf fa. Namun keterangan terdahulu tentang menjama’ dua riwayat bahwa yang dimaksud adalah muqaranah (bersamaan/menyertai), dan itu pendapat jumhur. Syekh Abu Muhamad al-Juwaini berkata, ‘Bersamaan dengan imam dalam apapun di antara pekerjaan salat itu tidak disunatkan kecuali ini’. Imam al-Haramain berkata, “Boleh jadi illat-nya bahwa ucapan aamien (makmum) itu karena bacaan imam bukan karena ucapan aamien imam, karena itu tidak diakhirkan darinya’. Dan hal itu jelas. Lalu menurut jumhur perintah ini menunjukkan kepada sunat. Dan Ibnu Buzaizah menceritakan (pendapat) dari sebagian ahli ilmu bahwa makmum wajib mengucapkan aamien sebagai pengamalan zhahir perintah. Ia berkata, ‘Madzhab zhahiri mewajibkannya pada setiap yang salat’. Lalu perintah mengucapkan aamien bagi makmum itu mutlak bahwa ia mengucapkan aamien (tanpa terikat dengan ucapan aamien-nya imam), meskipun ia sibuk membaca al-Fatihah. Dan itu pendapat sebagian besar madzhab syafi’i… ” Lihat, Fath al-Bari, Dar al-Ma’rifah, Beirut, 1379 H, II:264

Ibnu Hajar berkata:
قَوْلُهُ فَقُوْمُوْا فَصَلُّوْا أُسْتُدِلَّ بِهِ عَلَى أَنَّهُ لاَ وَقْتٌ لِصَلاَةِ الْكُسُوْفِ مُعَيَّنٌ لأَنَّ الصَّلاَةَ عَلِقَتْ بِرُؤْيَتِهِ وَهِي مُمْكِنَةٌ فِي كُلِّ وَقْتٍ مِنَ النَّهَارِ وَبِهذَا قَالَ الشَّافِعِيُّ وَمَنْ تَبِعَهُ وَاسْتَثْنَى الْحَنَفِيَّةُ أَوْقَاتِ الْكَرَاهَةِ وَهُوَ مَشْهُوْرُ مَذْهَبِ أَحْمَدَ وَعَنِ الْمَالِكِيَّةِ وَقْتُهَا مِنْ وَقْتِ حَلِّ النَّافِلَةِ إِلَى الزَّوَالِ وَفِي رِوَايَةٍ إِلَى صَلاَةِ الْعَصْرِ وَرَجَّحَ الأَوَّلَ بِأَنَّ الْمَقْصُوْدَ إِيْقَاعُ هذِهِ الْعِبَادَةِ قَبْلَ الإِنْجِلاَءِ وَقَدِ اتَّفَقُوْا عَلَى أَنَّهَا لاَ تَقْضِى بَعْدَ الإِنْجِلاَءِ فَلَوْ إِنْحَصَرَتْ فِي وَقْتٍ لَأَمْكَنَ الإِنْجِلاَءُ قَبْلَهُ فَيَفُوْتُ الْمَقْصُوْدُ وَلَمْ أَقِفْ فِي شَيْءٍ مِنَ الطُّرُقِ مَعَ كَثْرَتِهَا عَلَى أَنَّهُ صلى الله عليه و سلم صَلاَّهَا الأَضْحَى لكِنْ ذلِكَ وَقَعَ اتِّفَاقًا وَلاَ يَدُلُّ عَلَى مَنْعِ مَا عَدَاهُ وَاتَّفَقَتِ الطُّرُقُ عَلَى أَنَّهُ بَادَرَ إِلَيْهَا
“perkataannya: faquumuu fashalluu. Di-istidlal dengannya bahwa tidak ada waktu tertentu untuk salat gerhana, karena salat itu (gerhana) bergantung kepada rukyat kusuf, dan ia dimungkinkan di setiap waktu pada siang hari. Dan ini pendapat as-Syafi’I dan pengikutnya. Sedangkan Hanafiyah mengecualikan waktu-waktu makruh, dan itu madzhab Ahmad yang masyhur. Dan pendapat malikiyyah waktunya dari waktu selepas tathawwu hingga tergelincir matahari. Dan pada suatu riwayat hingga salat Ashar. Dan ia menyatakan bahwa yang kuat (riwayat) yang pertama, karena yang dimaksud adalah menyelaraskan ibadah ini sebelum terang. Dan sungguh mereka telah sepakat bahwa tidak ada qadha setelah terang. Kalau ibadah ini dibatasi pada suatu waktu pasti memungkinkan terang sebelum waktunya, sehingga luput maksud itu. Dan aku tidak mengetahui sedikitpun dari jalur-jalur periwayatan meskipun banyak bahwa Nabi saw. melaksanakannya waktu dhuha, namun itu terjadi secara kebetulan. Dan itu tidak menunjukkan terlarangnya salat selain waktu itu. Dan jalur-jalur periwayatan sepakat (menunjukkan) bahwa beliau segera bergegas untuk salat” Lihat, Fath al-Bari, Dar al-Ma’rifah, Beirut, 1379 H, II:528
Sebagian bukti di atas semakin memperkuat lemahnya teori shighah at-Tamridh (ustudilla) yang digunakan pihak pro.
Dengan demikian, untuk memahami shighah at-Tamridh (ustudilla) yang digunakan oleh Ibnu Hajar dalam memperbincangkan masalah isbal kita harus melihat pernyataan Ibnu Hajar sendiri, bukan teori itu. (bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar