Sabtu, 22 Desember 2012

KEDUDUKAN HUKUM ZAKAT PROFESI (3) oleh Ustad Amin Saefullah Muchtar


Pendapat Syekh Muhammad  Ghazali
Syekh Muhammad  Ghazali,  telah membahas  masalah  ini  dalam  bukunya  al-Islam  wa  al-Audza' al-Iqtishadiya.  Lebih  dari  dua puluh tahun yang lalu. Setelah menyebutkan bahwa dasar penetapan wajib zakat  dalam Islam  hanyalah  modal,  bertambah,  berkurang  atau  tetap, setelah lewat setahun, seperti zakat uang,  dan  perdagangan yang  zakatnya  seperempat  puluh,  atau  atas  dasar ukuran penghasilan tanpa melihat modalnya seperti  zakat  pertanian dan  buah  buahan  yang  zakatnya sepersepuluh atau seperdua puluh, maka beliau mengatakan:  "Dari  sini  kita  mengambil kesimpulan,  bahwa  siapa  yang  mempunyai  pendapatan tidak kurang dari pendapatan seorang petani yang wajib zakat, maka ia  wajib  mengeluarkan  zakat yang sama dengan zakat petani tersebut, tanpa mempertimbangkan sama sekali  keadaan  modal dan   persyaratan- persyaratannya."  Berdasarkan  hal  itu, seorang  dokter,  advokat,  insinyur,  pengusaha,   pekerja, karyawan,  pegawai, dan sejenisnya wajib mengeluarkan zakat dari pendapatannya yang  besar.  Hal  itu  berdasarkan  atas dalil:
1. Keumuman nash Quran:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ
"Hai orang-orang yang beriman keluarkanlah sebagian hasil yang kalian peroleh." Q.s. al-Baqarah: 267
Tidak perlu diragukan lagi bahwa jenis-jenis pendapatan di atas termasuk hasil yang wajib dikeluarkan zakatnya, yang dengan demikian mereka masuk dalam hitungan orang-orang mukmin yang disebutkan Quran: "Yaitu orang-orang yang percaya kepada yang ghaib, mendirikan salat, serta mengeluarkan sebagian yang kami berikan." (Q.s. al-Baqarah: 3).
2. Islam tidak memiliki konsepsi mewajibkan zakat atas petani yang memiliki lima faddan (1 faddan = 1/2 ha). Sedangkan atas pemilik usaha yang memiliki penghasilan lima puluh faddan tidak mewajibkannya, atau tidak mewajibkan seorang dokter yang penghasilannya sehari sama dengan penghasilan seorang petani dalam setahun dari tanahnya yang atasnya diwajibkan zakat pada waktu panen jika mencapai nisab.
Untuk itu, harus ada ukuran  wajib  zakat  atas  semua  kaum profesi, dan pekerja tersebut, dan selama sebab (illat) dari dua hal memungkinkan diambil hukum qias,  maka  tidak  benar untuk  tidak memberlakukan qias tersebut dan tidak menerima hasilnya.
Keterangan di atas menunjukkan bahwa dalam menetapkan syariat zakat profesi Syekh  Muhammad  Ghazali menggunakan landasan keumuman nash Quran dan  qias.  Dilihat dari dua landasan ini terdapat kesamaan dengan Syekh al-Qardhawi, namun  Syekh al-Qardhawi melengkapinya dengan pendekatan  fatwa para sahabat, tabi’in dan para ahli  fikih  sesudah mereka.
Ketentuan Nishab
Setelah terjadi perbedaan pendapat tentang masalah haul (ketentuan masa setahun), ulama yang pro zakat profesi dihadapkan pada persoalan berikutnya: berapakah nishab  (batasan minimum harta) zakat jasa dan profesi itu? Dalam masalah ini Syekh Muhammad al-Ghazali, sebagaimana yang dikutip oleh Syekh al-Qaqdlawi, menyatakan bahwa nishab zakat jasa dan profesi ini tidak diqiaskan kepada uang emas, tetapi kepada hasil pertanian, yakni sebesar 5 wasaq atau 653 kg hasil tanaman seperti sya’ir (gandum). Pengqiyasan kepada hasil pertanian ini diikuti pula oleh para ulama lainnya di Indonesia, meski sedikit berbeda nilai konversinya, yakni 5 wasaq atau 750 kg beras, atau nilai uang rupiah sebesar Rp 450.000 (jika yang dijadikan acuan jenis beras tertentu misalnya seharga 1 kg beras = Rp 600.). Dikatakan pula bahwa hasil pengqiyasan ini lebih mudah dicapai daripada kepada emas atau perak, yakni sebesar Rp. 2 juta, di samping lebih banyak unsur persamaannya.  Penentuan nishab ini, apakah diqiyaskan kepada emas atau hasil pertanian, tentu akan mempengaruhi besarnya prosentase zakat itu.
Selain itu, mereka berpendapat bahwa nishab  zakat jasa profesi ini adalah pendapatan bersih setelah dikurangi hutang-hutang yang mendesak dan keperluan pokok untuk diri dan keluarga. Hal ini di dasarkan pada dalil-dalil berikut:
Firman Allah:
يَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنفِقُونَ قُلْ مَا أَنفَقْتُمْ مِنْ خَيْرٍ فَلِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ
Mereka bertanya tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: "Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan." Dan apa saja kebaikan yang kamu buat, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya. Q.s. Al-Baqarah:215
Sabda Nabi: Dahulukan orang yang wajib kamu urus. (H.r. Bukhari). Sabda Nabi: Tidak wajib zakat kecuali dalam kecukupan. (H.r. Bukhari)
Berapa persen yang wajib dikeluarkan zakatnya dari hasil jasa dan profesi itu? bagi yang mengqiyaskannya kepada uang, maka zakatnya 2,5% dari hasil bersih, sedangkan bagi yang diqiyaskan kepada hasil pertanian, zakatnya 10% bagi jasa dan profesi yang tidak memerlukan biaya, atau 5% bagi yang memerlukan biaya.
Berbagai keterangan di atas menunjukkan bahwa di kalangan ulama yang pro zakat profesi itu sebenarnya terjadi ketidaksepakatan dalam hal (1) apakah ada persyaratan haul (masa 1 tahun); (2) berapa nishab-nya (batas minimalnya); (3) berapa prosentasenya.
Argumentasi zakat profesi Tidak disyariatkan
Berdasarkan alasan-alasan yang berkaitan dengan posisi zakat sebagai ibadah mahdhah, yang telah dikemukakan pada awal pembahasan, para ulama kelompok ini menegaskan bahwa zakat bukanlah objek kajian ijtihad yang penetapan hukumnya bisa menggunakan metode analisis qiyas. Sikap dan pandangan ini sejalan dengan pendirian Dhahiriyat, Syiah dan tokoh besar aliran Muktazilah yang menurut  Wahbah al-Zuhaili, mereka berpendapat bahwa metode analisis qiyas, walaupun logis menurut analisis-nalar manusia, tetapi syariah tidak pernah mewajibkan mukalaf untuk menaati hasil analisis qiyas itu. Bahkan, ulama Syiah dan Muktazilah lebih tegas menyatakan bahwa dalam tema-tema peribadatan mustahil dilakukan analisis qiyas karena hasil analisis ijtihad akan melahirkan pendapat yang berbeda-beda yang akan membuat kesulitan untuk mempertemukannya.
Mereka berpendapat bahwa barang-barang atau kekayaan atau penghasilan yang wajib dizakati bukanlah sesuatu yang dapat ditentukan melalui analisis ijtihad, tetapi merupakan ketentuan syariat yang hanya dapat ditetapkan langsung oleh nash, baik Alquran maupun Sunnah. Karena itu, mereka berpendapat bahwa hasil usaha profesi bukan sesuatu yang wajib dizakati karena tidak dinyatakan oleh nash. Ia juga tidak bisa dilakukan analisis qiyas karena selain zakat itu bukan lapangan kajian qiyas, juga akan sangat sukar untuk melakukan kajian ta’lil (sebab hukum) pada zakat profesi tersebut.
Sejak awal zakat itu sudah ditentukan mustahiq dan ukurannya. Bahkan, zakat fitrah sudah ditentukan waktunya. Zakat kelapa, mangga, cengkeh, dan beras, misalnya, ditetapkan bukan atas dasar qiyas, melainkan az-zar’a mukhtalifan ukuluhu pada surat al-An’am (6) ayat 141. zakat beras pada zakat fitrah berdasarkan hadis riwayat Imam Bukhari, kunna nakhruju az-zakata al-fithr sha’an min tha’am. Pembudidayaan ayam, lele, dan bekicot jika kemudian dijual terkena kewajiban zakat tijarah. Jika seseorang memiliki profesi yang jelas, wajib diambil zakatnya berdasarkan ‘illat yang juga salah satu makna kata zakat, yakni an-nami (harta yang berkembang), ternyata ada barang yang termasuk an-nami seperti kuda dan keledai tidak terkena kewajiban zakat.
Mereka berargumentasi bahwa jika hasil profesi itu diqiyaskan kepada hasil pertanian, berlaku sistem perhitungan yang dikaitkan dengan penyiraman dan pemupukan, padahal dalam hasil usaha profesi tidak bisa dilakukan sistem penghitungan tersebut. Jika diqiyaskan kepada harta kekayaan berarti berlaku sistem penghitungan yang dikaitkan dengan haul, padahal hasil usaha profesi tidak bisa dimasukkan ke dalam kategori tersebut. Jika diqiyaskan kepada emas dan perak, yang ada kategori emas simpanan serta emas perhiasan, sementara hasil usaha profesi tidak sejenis dengan kategorisasi tersebut.
Alasan lain, banyak jenis harta yang pada zaman Nabi saw. sudah ada dan hingga kini tetap ada. Tetapi, tidak ditemukan ketentuan zakat tentangnya. Misalnya, mutiara, marjan (permata), yang baik dulu maupun sekarang nilai atau harganya sudah lebih mahal daripada emas dan perak yang ada ketentuan zakatnya; binatang seperti kuda, keledai, dan ayam, sudah ada dan dipelihara, semuanyaberbeda dengan unta, sapi dan kambing yang ada ketentuan zakatnya; serta ujrah (upah) dari pekerjaan atau profesi juga sudah ada, bahkan dalam hal penyerahan upah Nabi saw bersabda: “Berikanlah kepada pekerja upahnya sebelum keringatnya kering” (HR Ibnu Majah). Tetapi, tidak ada ditemukan ketentuan zakat dari Nabi bagi mereka yang mendapat ujrah tersebut. (bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar