Sabtu, 22 Desember 2012

KEDUDUKAN HUKUM ZAKAT PROFESI (1) oleh Ustad Amin Saefullah Muchtar


Pengertian Pendapatan Profesi
Yang dimaksud dengan profesi adalah bidang pekerjaan yg dilandasi pendidikan keahlian (keterampilan, kejuruan, dsb) tertentu. Lihat, KBBI Versi 1.1.
Sedangkan jasa adalah (1) perbuatan yg baik atau berguna dan bernilai bagi orang lain, negara, instansi, dsb; (2) perbuatan yg memberikan segala sesuatu yg diperlukan orang lain; layanan; servis; (3) aktivitas, kemudahan, manfaat, dsb yg dapat dijual kpd orang lain (konsumen) yg menggunakan atau menikmatinya. Lihat, KBBI Versi 1.1.
Dalam pandangan Syekh Prof. Dr. Yusuf al-Qardhawi dan Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili jasa diklasifikasikan menjadi dua bagian: (1) al-‘amal a-hurr (jasa bebas), yaitu tidak ada ikatan (kontrak) dengan negara atau swasta,  seperti jasa profesi dokter, insinyur, pengacara, tukang jahit, tukang kayu dan sebagainya; Penghasilan   yang   diperoleh  dengan  cara  ini  merupakan penghasilan profesional, dan (2) al-‘amal al-muqayyad, yaitu jasa yang ada ikatan (kontrak) dengan negara atau perusahaan sehingga mendapat imbalan tetap bulanan. Begitu pula jasa lainnya seperti jasa angkutan, hasil sewaan, dan sebagainya. Lihat, Fiqh az-Zakat, hal. 52; dan al-Fiqh al-Islami wa adillatuh, III:294
Pendapatan atau penghasilan dari kedua macam pekerjaan itu dikenal dalam istilah fiqih dengan al-mal al-mustafad (harta penghasilan), al-‘atha (gaji), ratibah (gaji),  dan al-‘umalah (tunjangan).
Pandangan Ulama Tentang Hukum Zakat Profesi
Masalah zakat profesi sejak kemunculannya sampai saat ini tidak henti-hentinya diperbincangkan para ulama. Pada dasarnya perbincangan itu berangkat dari perbedaan persepsi yang muncul tentang status zakat itu sendiri, yaitu (1) Zakat adalah ibadah mahdhah, (2) Zakat bukan ibadah mahdhah melainkan muamalah atau ‘adat.
1.  Zakat Ibadah Mahdhah
Yang berpendapat bahwa zakat itu termasuk ibadah mahdhah beragumentasi antara lain:
  1. Zakat termasuk rukun Islam,
عَنْ طَلْحَةَ بْنِ عُبَيْدِاللَّهِ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم مِنْ أَهْلِ نَجْدٍ ثَائِرَ الرَّأْسِ يُسْمَعُ دَوِيُّ صَوْتِهِ وَلاَ يُفْقَهُ مَا يَقُولُ حَتَّى دَنَا فَإِذَا هُوَ يَسْأَلُ عَنِ الإِسْلاَمِ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم خَمْسُ صَلَوَاتٍ فِي الْيَوْمِ وَاللَّيْلَةِ فَقَالَ هَلْ عَلَيَّ غَيْرُهَا قَالَ لاَ إِلاَّ أَنْ تَطَوَّعَ قَالَ رَسُولُ اللهِ ص وَصِيَامُ رَمَضَانَ قَالَ هَلْ عَلَيَّ غَيْرُهُ قَالَ لاَ إِلاَّ أَنْ تَطَوَّعَ قَالَ وَذَكَرَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم الزَّكَاةَ قَالَ هَلْ عَلَيَّ غَيْرُهَا قَالَ لاَ إِلاَّ أَنْ تَطَوَّعَ قَالَ فَأَدْبَرَ الرَّجُلُ وَهُوَ يَقُولُ وَاللَّهِ لاَ أَزِيدُ عَلَى هَذَا وَلاَ أَنْقُصُ قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم أَفْلَحَ إِنْ صَدَقَ. رواه البخاري
Dari Thalhah bin Ubaidullah, ia berkata, “Seorang lelaki penduduk Najd datang kepada Rasulullah saw. dengan rambut kusut. Terdengar keras suaranya, tapi tidak difahami apa yang dikatakannya, sehingga ketika mendekat. Ternyata ia bertanya tentang Islam. Rasulullah saw. menjawab, ‘Lima salat sehari semalam.’ Ia bertanya, ‘Apakah bagiku ada kewajiban yang lainnya’ Beliau menjawab, ‘Tidak ada, kecuali kamu hendak mengerjakan yang sunat’ Rasulullah bersabda, ‘Dan saum Ramadhan’ Ia bertanya, ‘Apakah bagiku ada kewajiban yang lainnya’ Beliau menjawab, ‘Tidak ada, kecuali kamu hendak mengerjakan yang sunat’ Selanjutnya Rasulullah saw. menerangkan kepadanya tentang kewajiban zakat. Ia bertanya, ‘Apakah bagiku ada kewajiban yang lainnya’ Beliau menjawab, ‘Tidak ada, kecuali kamu hendak mengerjakan yang sunat’.” Thalhah berkata, “Orang itu pergi seraya mengatakan, ‘Demi Allah, aku tidak akan menambah dan mengurangi ketentuan ini.’ Rasulullah  saw. bersabda, “Berbahagialah dia jika benar” H.r. Al-Bukhari
Jawaban Rasulullah saw.: “tidak, kecuali engkau hendak mengerjakan sunat”. Ini artinya zakat telah diterangkan secara rinci dan jelas sehingga orang itu bertanya tentang kewajiban zakat lainnya.
b.  Zakat di dalam Alquran penyebutannya seringkali digandengkan dengan salat tanpa pemisahan hukumnya, antara lain:
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ.  البقرة : 43
Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku. Q.s. Al-Baqarah:43
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوْا الزَّكَاةَ لَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ.  البقرة : 277
Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Q.s. Al-Baqarah:277
Pada penyebutan itu tidak ditemukan qarinah (indikator) yang memalingkan tekanan hukum zakat dan dibedakannya dari salat.
Ayat-ayat dan hadis di atas menunjukkan bahwa kedudukan zakat dan salat sama-sama ibadah mahdhah. Itu sebabnya para ulama menetapkan ta’rif sebagai berikut :
إِعْطَاءُ جُزْءٍ مَخْصُوْصٍ مِنْ مَالٍ مَخْصُوْصٍ بِوَضْعٍ مَخْصُوْصٍ لِمُسْتَحِقِهِ.
Mengeluarkan bagian yang khusus dari harta yang khusus dengan ketentuan yang khusus bagi mustahiknya.
Definisi di atas menunjukkan bahwa aturan zakat itu telah ditentukan oleh Islam, baik harta yang wajib dizakati, prosentasenya, nisabnya dan juga mustahiqnya. Kita tidak punya otoritas untuk menambah atau mengurangi aturan yang telah ditentukan itu. Sebagai perbandingan, seseorang yang mempunyai emas sebagai perhiasan wajib mengeluarkan zakatnya, walaupun hanya seberat satu gram. Sedangkan yang mempunyai kuda tidak dituntut mengeluarkan zakat, walaupun harga kuda lebih mahal daripada satu gram emas. Demikian pula halnya, orang kafir yang fakir tidak boleh diberi zakat sekalipun ia tetangga atau sangat membutuhkan. Sedangkan amilin sekalipun ia kaya boleh menerima zakat.
Selain itu, banyak jenis harta yang di zaman Nabi saw. sudah ada dan sampai sekarang tetap ada, tapi tidak kita ketemukan ketentuan zakatnya, misalnya: (a) Mutiara, marjan (permata), baik dulu maupun sekarang  nilai atau harganya sudah lebih mahal daripada emas dan perak yang  ada ketentuan zakatnya, (b) Binatang seperti kuda, keledai dan ayam, sudah ada dan dipelihara, semuanya berbeda dengan unta, sapi dan kambing yang ada ketentuan zakatnya.
Berdasarkan persepsi ini, maka zakat profesi tidak disyariatkan. Dengan perkataan lain, pendapatan profesi tidak terkena zakat.
2.  Zakat Bagian dari Mu'amalah
Sebagian ulama menyatakan bahwa zakat itu sebenarnya bukan masalah ta’abudi, bahkan lebih dekat kepada mu’amalah atau adat,  sehingga berlaku qiyas (analogi), yaitu menetapkan hukum suatu kejadian atau peristiwa yang tidak ada dalilnya dengan cara membandingkannya kepada suatu kejadian atau peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan dalil karena ada persamaan 'illat (penyebab berlakunya hukum) antara kedua kejadian atau peristiwa itu. Misalnya hukum minum bir (disebut far’un) sama dengan hukum minum khamar (disebut aslun), yaitu haram (disebut hukum asal), karena keduanya sama-sama memabukan (disebut ilat hukum).
Berdasarkan qiyas tersebut ketentuan zakat tidak terbatas atas harta-harta tertentu yang ada di zaman Rasul saja, dan berlaku pula untuk penghasilan seperti halnya gaji, profesi atau sewaan gedung-gedung yang hasilnya melebihi nisab zakat pertanian. Karena menurut mereka, yang dianggap ‘illah (penyebab berlakunya hukum) dalam zakat itu adalah an-nama’u (harta yang berkembang) sesuai dengan arti zakat itu sendiri. Paling tidak demikian pandangan Syekh Dr. Yusuf Qordhawi. Lebih dari itu beliau mengatakan bahwa masalah zakat itu lebih tepat ditempatkan dalam fiqih mali (kehartaan) dan ijtima’i (kemasyarakatan), bukan pada bab ibadah mahdhah seperti salat dan shaum.
Argumentasi zakat profesi disyariatkan
Menurut para ulama masa kini, antara lain Dr. Muhamad Abu Zahrah, Dr. Abdurrahman Hasan, Dr. Abdul  Wahab Khallaf, Dr. Yusuf al-Qardhawi dan Dr. Wahbah al-Zuhaili, jasa-jasa tersebut di atas tidak terlepas dari kewajiban zakat, berdasarkan pemahaman terhadap keumuman makna yang terkandung dalam Al-Qur’an dan hadis berikut:
  1. Surat Al-Baqarah ayat 267:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنْ الأَرْضِ… البقرة: 267.
Wahai orang-orang yang beriman, nafakahkanlah sebagian dari usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu…Q.s. Al-Baqarah : 267
Ayat tersebut berlaku umum meliputi hasil usaha manusia yang diperoleh secara halal yang dikenal pada setiap kurun waktu.
  1.  Surat At-Taubah ayat : 103
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ … التوبة : 103
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka …  (Q.s. At-Taubah ayat : 103)
  1. Hadis-hadis Rasul tentang zakat atas harta penghasilan, antara lain
a. Dari Abu Musa al-Asy’ari, dari Nabi saw., beliau bersabda:
عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ صَدَقَةٌ فَقَالُوا يَا نَبِيَّ اللَّهِ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ قَالَ يَعْمَلُ بِيَدِهِ فَيَنْفَعُ نَفْسَهُ وَيَتَصَدَّقُ قَالُوا فَإِنْ لَمْ يَجِدْ قَالَ يُعِينُ ذَا الْحَاجَةِ الْمَلْهُوفَ قَالُوا فَإِنْ لَمْ يَجِدْ قَالَ فَلْيَعْمَلْ بِالْمَعْرُوفِ وَلْيُمْسِكْ عَنْ الشَّرِّ فَإِنَّهَا لَهُ صَدَقَةٌ
“Setiap muslim wajib mengeluarkan zakat (shadaqah). Mereka bertanya, ‘Hai Nabi Allah, bagaimana jika ia tidak punya?’ Nabi menjawab, ‘Hendaklah ia bekerja dengan tenaganya. Maka akan memberi manfaat untuk dirinya dan dapat mengeluarkan zakat.” Mereka bertanya lagi, ‘Bagaimana jika ia tidak bisa?’ Nabi menjawab, ‘Menolong orang yang membutuhkan lagi menderita’ Mereka bertanya lagi, ‘Bagaimana jika ia tidak bisa?’ Nabi menjawab, ‘berbuat baiklah dan menahan diri dari kejahatan, karena hal itu menjadi shadaqah baginya “ H.r. Al-Bukhari. Kitab az-Zakah, bab ‘Ala kulli Muslim shadaqah, Shahih al-Bukhari, II:143
b. Dari Ibnu Umar
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ اسْتَفَادَ مَالًا فَلَا زَكَاةَ عَلَيْهِ حَتَّى يَحُولَ عَلَيْهِ الْحَوْلُ عِنْدَ رَبِّهِ
"Rasulullah  s.a.w.  bersabda,  "Siapa  yang memperoleh kekayaan maka tidak ada kewajiban zakatnya sampai lewat setahun di sisi Tuhannya." H.r. Al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi syarh Ibn al-‘Arabi, III:125-126.
  1. Atsar (fatwa) para sahabat dan tabi’in, antara lain
a. Ibnu Abbas
Abu Ubaid  meriwayatkan  dari  Ibnu  Abbas  tentang  seorang laki-laki   yang  memperoleh  penghasilan. Kata Ibnu Abas,
يُزُكِّيْهِ يَوْمَ يَسْتَفِيْدُهُ
"Ia  mengeluarkan zakatnya pada hari  memperolehnya." Lihat, Al-Amwal, hal. 413
Demikian pula diriwayatkan oleh Ibnu Abu Syaibah  dari  Ibnu Abbas (al-Mushannaf, III:160)
b. Ibnu Mas’ud
Abu  Ubaid  meriwayatkan  pula  dari  Hubairah  bin  Yaryam,
كَانَ عَبْدُ اللهِ بْنُ مَسْعُوْدٍ يُعْطِيْنَا الْعُطَاءَ فِي زُبُلٍ صِغَارٍ ثُمَّ  يَأْخُذُ مِنْهُ  الزَّكَاةَ
Abdullah  bin  Mas'ud  memberikan kepada kami  keranjang-keranjang kecil kemudian menarik zakatnya.  Lihat, Al-Amwal, hal. 412
c. Mu’awiyah
Imam Malik meriwayatkan dari Ibnu Syihab bahwa  orang  yang pertama   kali   mengenakan   zakat  dari  pemberian  adalah Mu'awiyah bin Abi Sufyan. Lihat, Al-Muwatha ma’a al-Muntaqa, II:95
Syekh al-Qardhawi berkata, “Barangkali  yang  ia  maksudkan adalah  orang  yang  pertama mengenakan zakat atas pemberian dari khalifah, karena sebelumnya sudah ada  yang  mengenakan zakat  atas  pemberian  yaitu  Ibnu Mas'ud sebagaimana sudah kita jelaskan. Atau barangkali dia belum mendengar perbuatan Ibnu  Mas'ud,  karena Ibnu Mas'ud berada di Kufah, sedangkan Ibnu Syihab berada di Madinah. Yang jelas adalah  bahwa  Mu'awiyah  mengenakan  zakat  atas pemberian  menurut  ukuran  yang berlaku dalam negara Islam, karena ia adalah khalifah dan penguasa umat Islam. Dan  yang jelas  adalah  bahwa  zaman  Mu'awiyah penuh dengan kumpulan para  sahabat  yang  terhormat,   yang   apabila   Mu'awiyah melanggar    hadis    Nabi    atau    ijmak    yang    dapat dipertanggungjawabkan para sahabat tidak  begitu  saja  akan mau  diam.
d. Umar bin Abdul Aziz (Tabi’in)
Abu  Ubaid  menyebutkan
أَنَّهُ كَانَ إِذَا أَعْطَى الرَّجُلَ عُمَالَتَهُ أَخَذَ مِنْهَا الزَّكَاةَ، وَإِذَا رَدَّ الْمَظَالِمَ  أَخَذَ مِنْهَا الزَّكَاةَ، وَكَانَ يَأْخُذُ الزَّكَاةَ مِنَ الأُعْطِيَّةَ إِذَا خُرِجَتْ لأَصْحَابِهَا
bahwa  bila  Umar bin Abdul Aziz memberikan  gaji seseorang  ia  memungut  zakatnya.  Begitu  pula   bila   ia mengembalikan   barang   sitaan,  ia  memungut  zakat darinya. Begitu pula ia memungut zakat dari pemberian bila telah berada di tangan penerima. Lihat, Al-Amwal, hal. 432
Dengan  demikian  upah  ('umalah)  adalah   sesuatu   yang diterima seseorang karena kerjanya, seperti gaji pegawai dan karyawan pada masa sekarang. Harta  sitaan  (mazalim)  ialah harta  benda yang disita oleh penguasa karena tindakan tidak benar  pada  masa-masa  yang  telah  silam  dan   pemiliknya menganggapnya  sudah  hilang  atau tidak ada lagi, yang bila barang tersebut  dikembalikan  kepada  pemiliknya  merupakan penghasilan  baru  bagi  pemilik  itu.  Pemberian  (u'tiyat) adalah  harta  seperti  honorarium  atau  biaya  hidup  yang dikeluarkan   oleh   Baitul  mal  untuk  tentara  Islam  dan orang-orang yang berada dibawah kekuasaannya.
Ibnu Abu Syaibah meriwayatkan,
أَنَّ عُمُرُ بْنَ عَبْدِ الْعَزِيْزِ كَانَ يُزَكِّى الْعُطَاءَ وَالْجَائِزَةَ
bahwa  Umar  bin  Abdul  Aziz memungut zakat  pemberian  dan  hadiah. Lihat, al-Mushannaf, III:85
Syekh al-Qardhawi berkata, “Itu adalah pendapat Umar.  Bahkan  hadiah-hadiah  atau  bea-bea  yang  diberikan kepada  para  duta  baik  sebagai pemberian, tip, atau kado, ditarik zakatnya. Hal itu sama  dengan  apa  yang  dilakukan oleh  banyak  negara  sekarang  dalam  pengenaan  pajak atas hadiah-hadiah tersebut”.
Berdasarkan keterangan-keterangan di atas kelompok pertama berpendapat bahwa zakat profesi itu disyariatkan, bahkan mereka menetapkan bahwa kewajiban zakat itu tidak terbatas hanya atas gaji (al-‘atha), tetapi meliputi tunjangan (al-‘umalah), hadiah (al-jaizah), dan harta yang pernah dirampas (al-Mazhalim). (bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar