Sabtu, 22 Desember 2012

ANALISA PENDAPAT IBNU HAJAR TENTANG ISBAL (4) oleh Ustad Amin Saefullah Muchtar


Argumentasi Perkataan Ibnu Abdil Barr
Bukankah setelah menyebutkan pendapat yang dilemahkan itu, beliau langsung menyebutkan perkataan Ibnu Abdil Barr yang menentang pendapat lemah itu sebagai berikut:
قَالَ اِبْن عَبْد الْبَرّ مَفْهُومه أَنَّ الْجَرّ لِغَيْرِ الْخُيَلَاء لَا يَلْحَقهُ الْوَعِيد إِلَّا أَنَّ جَرّ الْقَمِيص وَغَيْره مِنْ الثِّيَاب مَذْمُوم عَلَى كُلّ حَال
Ibnu Abdil barr mengatakan: “Mafhum-nya hadits ini menunjukkan, bahwa menyeret pakaian tanpa rasa sombong tidak masuk dalam ancaman, tapi (mafhum itu tidak berlaku dalam kasus ini), sungguh -bagaimanapun keadaannya- menyeret baju atau pakaian lainnya itu tercela, (yakni masuk dalam ancaman yang ada dalam hadits-hadits). (Fathul bari: jilid 13, hal: 266, cetakan Daaru Thaibah)
Kata Pihak yang Pro: “Artinya Ibnu Hajar ingin memupus argumen pendapat yang dilemahkannya dengan perkataan Ibnu Abdil Barr itu”.
Tanggapan Pihak Kontra
Klaim mereka tidak benar, karena tiga hal:
Pertama, pemahaman pihak yang pro telah dipengaruhi oleh teori Shigah at-Tamridh yang lemah itu, sehingga  perkataan Ibnu Abdil Barr diposisikan sebagai “peluru” untuk  menentang pendapat yang diklaim lemah menurut teori itu. Dengan pernyataan ini, seakan-akan berhadapan dua pihak: Pihak pertama satu orang, tanpa ada yang mendukung, sedangkan pihak kedua Ibnu Hajar yang didukung oleh Ibnu Abdil Barr. Padahal tidak demikian yang sebenarnya.

Kedua, karena keterangan Ibnu Abdil Barr diposisikan seperti itu, maka arah pembicaraannya dibelokan sesuai fiqih pihak yang pro. Coba bandingkan antara teks Arab dan cara penerjemahan pihak pro:
قَالَ اِبْن عَبْد الْبَرّ مَفْهُومه أَنَّ الْجَرّ لِغَيْرِ الْخُيَلَاء لَا يَلْحَقهُ الْوَعِيد إِلَّا أَنَّ جَرّ الْقَمِيص وَغَيْره مِنْ الثِّيَاب مَذْمُوم عَلَى كُلّ حَال
Ibnu Abdil barr mengatakan: “Mafhum-nya hadits ini menunjukkan, bahwa menyeret pakaian tanpa rasa sombong tidak masuk dalam ancaman, tapi (mafhum itu tidak berlaku dalam kasus ini), sungguh -bagaimanapun keadaannya- menyeret baju atau pakaian lainnya itu tercela, (yakni masuk dalam ancaman yang ada dalam hadits-hadits). (Fathul bari: jilid 13, hal: 266, cetakan Daaru Thaibah)

Perhatikan terjemah: “tapi (mafhum itu tidak berlaku dalam kasus ini)” dan “(yakni masuk dalam ancaman yang ada dalam hadits-hadits)”.

Kalimat dalam kurung menunjukkan bahwa maksud Ibnu Abdil Barr dan Ibnu Hajar ditarik-tarik agar sesuai dengan  fiqh pihak yang pro, yaitu:
  1. seakan-akan menurut Ibnu Abdil Barr menyeret pakaian baik dengan sombong maupun tanpa rasa sombong, sama-sama masuk dalam ancaman itu.
2.  Seakan-akan demikian pula Ibnu Hajar memahami maksud Ibnu Abdil Barr

Padahal dengan kalimat
إِلَّا أَنَّ جَرَّ الْقَمِيصِ وَغَيْرِهِ مِنَ الثِّيَابِ مَذْمُوْمٌ عَلَى كُلِّ حَالٍ
Ibnu Abdil Barr hendak menunjukkan sanksi yang berbeda antara yang sombong dan tanpa sombong. Kalau atas dasar sombong terkena wa’id (ancaman, yaitu Allah tidak akan memperhatikannya pada hari kiamat). Sedangkan tanpa sombong madzmum (tercela). Hal itu tampak jelas ketika kita membaca langsung ucapan Ibnu Abdil Barr itu dalam kitabnya at-Tamhid lima fil Muwatha minal Ma’ani wal Atsar:
وَهذَا الْحَدِيْثُ يَدُلُّ عَلَى أَنَّ مَنْ جَرَّ إِزَارَهُ مِنْ غَيْرِ خُيَلاَءَ وَلاَ بَطَرٍ أَنَّهُ لاَ يَلْحَقُهُ الْوَعِيْدُ الْمَذْكُوْرُ غَيْرَ أَنَّ جَرَّ الإِزَارِ وَالْقَمِيْصِ وَسَائِرِ الثِّيَابِ مَذْمُوْمٌ عَلَى كُلِّ حَالٍ وَأَمَّا الْمُسْتَكْبِرُ الَّذِيْ يَجُرُّ ثَوْبَهُ فَهُوَ الَّذِيْ وَرَدَ فِيْهِ ذلِكَ الْوَعِيْدُ الشَّدِيْدُ
“Dan hadis ini menunjukkan bahwa orang yang menyeret izarnya tanpa sombong ia tidak akan mendapat ancaman yang disebut, kecuali menyeret izar, gamis, dan semua pakaian itu tercela bagaimanapun keadaannya. Adapun orang yang sombong yang menyeret bajunya, dia itulah yang terkena ancaman keras”. Lihat, at-Tamhid lima fil Muwatha minal Ma’ani wal Atsar , III:244.
Penyertaan kalimat amma al-mustakbir…setelah kalimat …madzmum ‘ala kulli haal amat jelas menunjukkan bahwa beliau hendak menunjukkan sanksi yang berbeda antara yang sombong dan tanpa sombong.
Dengan demikian tidak benar kalau perkataan Ibnu Abdil Barr itu dipahami “bahwa tanpa rasa sombong pun masuk dalam ancaman yang ada dalam hadis-hadis”. Demikian pula tidak benar kalau dipahami bahwa Ibnu Hajar pun memahaminya seperti itu.
Ketiga, klaim bahwa “Ibnu Hajar ingin memupus argumen pendapat yang dilemahkannya dengan perkataan Ibnu Abdil Barr itu” akibat ketidakcermatan –kalau tidak mau dikatakan ketidakjujuran- dalam memberikan informasi. Sebab petikan itu hanya diambil sebagian, tidak seutuhnya. Padahal perkataan yang ditampilkan oleh Ibnu Hajar bukan hanya Ibnu Abdil Barr, namun juga Imam an-Nawawi, yaitu setelah mencantumkan pendapat Ibnu Abdil Barr,  Ibnu Hajar melanjutkan pembicaraan sebagai berikut:
وَقَالَ النَّوَوِي الإِسْبَالُ تَحْتَ الْكَعْبَيْنِ لِلخُيَلاَءِ فَإِنْ كَانَ لِغَيْرِهَا فَهُوَ مَكْرُوْهٌ وَهكَذَا نَصَّ الشَّافِعِيُّ عَلَى الْفَرْقِ بَيْنَ الْجَرِّ لِلْخُيَلاَءِ وَلِغَيْرِ الْخُيَلاَءِ قَالَ وَالْمُسْتَحَبُّ أَنْ يَكُوْنَ الإِزَارُ إِلَى نِصْفِ السَّاقِ وَالْجَائِزُ بِلاَ كَرَاهَةٍ مَا تَحْتَهُ إِلَى الْكَعْبَيْنِ وَمَا نَزَلَ عَنِ الْكَعْبَيْنِ مَمْنُوْعٌ مَنْعَ تَحْرِيْمٍ إِنْ كَانَ لِلْخُيَلاَءِ وَإِلاَّ فَمَنْعُ تَنْزِيْهٍ لأَنَّ الأَحَادِيْثَ الْوَارِدَةَ فِي الْزَجْرِ عَنِ الإِسْبَالِ مُطْلَقَةٌ فَيَجِبُ تَقْيِيْدُهَا بِالإِسْبَالِ لِلْخُيَلاَءِ
“An-Nawawi berkata, ‘al-Isbal di bawah mata kaki karena sombong. Jika bukan karena sombong hukumnya makruh’. Demikian pula as-Syafi’I menetapkan perbedaan antara menyeret pakaian karena sombong dan bukan karena sombong. Ia berkata, ‘Mustahab (hukumnya sunat) menggunakan izar hingga tengah betis. Jaiz (hukumnya boleh) hingga mata kaki. Dan di bawah mata kaki mamnu tahrim (hukumnya haram) jika karena sombong. Jika bukan karena sombong mamnu’ tanzih (hukumnya makruh), karena hadis-hadis yang mencela isbal datang secara mutlak, maka wajib mentaqyid dengan isbal karena sombong’. Selesai.” Lihat, Fath al-Bari, Dar al-Ma’rifah, Beirut, 1379 H, X:263

Dengan pencantuman pendapat imam an-Nawawi di samping Ibnu Abdil Barr di atas tampak jelas bahwa penggunaan shighah at-Tamridh (ustudilla) dalam konteks ini untuk menunjukkan ikhtilaf pendapat para ulama. Dan hingga paragraph ini belum tampak sikap Ibnu Hajar terhadap ikhtilaf itu.
Dengan demikian tidak tepat jika dikatakan “dengan perkataan Ibnu Abdil Barr itu Ibnu Hajar ingin memupus argumen pendapat yang dilemahkannya”.
Demikian analisa dari pihak kontra tentang kutipan perkataan Ibnu Hajar (1) yang diklaim oleh pihak pro menguatkan pendapat haramnya isbal secara umum:
وَفِي هَذِهِ الْأَحَادِيث أَنَّ إِسْبَال الْإِزَار لِلْخُيَلَاءِ كَبِيرَة وَأَمَّا الْإِسْبَال لِغَيْرِ الْخُيَلَاء فَظَاهِر الْأَحَادِيث تَحْرِيمه أَيْضًا
“Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa isbal (menyeret) sarung karena sombong termasuk dosa besar. Adapun isbal yang bukan karena sombong, maka dhohir-nya banyak hadits juga mengharamkannya.” (Fathul bari: jilid 13, hal: 266, cetakan Daaru Thaibah)
Pada makalah selanjutnya akan dibahas kutipan Perkataan Ibnu Hajar (2) 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar