Sabtu, 22 Desember 2012
KEDUDUKAN “ISBAL” TANPA SOMBONG [bag 2] oleh Ustad Amin Saefullah Muchtar
Argumentasi Pemahaman Mutlaq
Syekh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin berkata, “Sesungguhnya melabuhkan sarung dengan niat sombong hukumnya adalah Allah swt. tidak akan melihatnya pada hari kiamat, tidak akan berbicara dengannya, tidak akan mensucikannya dan dia mendapatkan siksaan yang pedih. Adapun apabila tidak diniatkan sombong maka hukumnya adalah yang di bawah mata kaki akan disiksa dengan neraka, karena Nabi saw. bersabda:
ثَلاَثَةٌ لاَ يُكَلِّمُهُمُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ وَلاَ يُزَكِّيْهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ: أَلْمُسْبِلُ وَالْمَنَانُ وَالْمُنْفِقُ سِلْعَتَهُ بِالْحَلِفِ الْكَاذِبِ
Tiga orang yang Allah tidak mau berbicara dengan mereka dan tidak mau melihat pada hari kiamat kelak dan tidak akan membersihkan diri mereka (dari dosa). Bahkan bagi mereka disediakan azab yang pedih. Yaitu orang yang melabuhkan pakaian, orang yang mengungkit-ungkit pemberian, dan orang menawarkan dagangannya dengan sumpah palsu.
Dan beliau bersabda:
مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلاَءَ لَمْ يَنْظُرِ اللهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Barangsiapa melabuhkan pakaian dengan sombong, Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat.
Sementara hukuman bagi orang yang tidak berniat sombong disebutkan di dalam Shahih Bukhari dari Abu Hurairah bahwa Nabi saw. bersabda:
مَا أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ مِنَ الإِزَارِ فَفِي النَّارِ
Yang dibawah mata kaki (tempatnya) di neraka.
Beliau tidak membatasi hal itu dengan kesombongan, dan sangat keliru bila membatasinya dengan kesombongan, berdasarkan hadis terdahulu, karena Abu Said Al-Khudri berkata, “Rasulullah saw. bersabda:
إِزَرَةُ الْمُؤْمِنِ إِلَى أَنْصَافِ سَاقَيْهِ لاَ جُنَاحَ عَلَيْهِ فِيْمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْكَعْبَيْنِ مَا أَسْفَلَ مِنْ ذلِكَ فَفِي النَّارِ لاَ يَنْظُرُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلَى مَنْ جَرَّ إِزَارَهُ بَطَرًا
Batas sarung seorang mukmin sampai pertengahan betis, dan dibolehkan kedua di atas mata kaki, dan yang dibawah mata kaki tempatnya di dalam neraka, dan barangsiapa menyeret sarungnya dengan sombong, Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat. H.r. Malik, Abu Daud, An-Nasai, Ibnu Majah, dan lainnya.
Nabi saw. menyebutkan dua masalah dalam satu hadis, dan beliau menerangkan perbedaan hukum antara keduanya karena adanya perbedaan sanksi, sehingga kedua masalah itu berbeda bentuk perbuatannya dan berbeda status hukum dan sanksinya. (Dinukil dengan bebas dari As-ilah Muhimmah, hal. 29-30 / Majalah As-Sunnah, edisi 10/Th.IV/1421-2000, hal. 9)
Dengan demikian, dalam masalah ini tidak berlaku kaidah ushul fiqih
حَمْلُ الْمُطْلَقِ عَلَى الْمُقَيَّدِ وَاجِبٌ إِذَا اتَّفَقَ فِي السَّبَبِ وَالْحُكْمِ
“Memahami makna lafal mutalq dengan makna muqayyad adalah wajib apabila sesuai dalam sebab dan hukumnya”
Karena berbeda sebab dan hukumnya. Sebab yang pertama adalah isbal secara mutlaq, sedang yang kedua adalah isbal dengan sombong. Di samping itu, hukumnya juga berbeda, yang pertama hukumnya ancaman neraka, yang kedua hukumannya adalah ancaman bahwa Allah swt. tidak akan melihatnya pada hari kiamat, tidak akan berbicara dengannya, tidak akan mensucikannya, dan dia mendapatkan siksaan yang pedih.
Tanggapan
Hemat kami cara pemahaman seperti di atas tidak tepat dilihat dari berbagai aspek:
Pertama, ungkapan isbal secara mutlaq
1. Dimuka sudah ditegaskan bahwa isbal secara istilahi maknanya tidak mutlaq. Karena itu untuk menyebut ungkapan isbal secara mutlaq harus menunjukkan bukti referensi, baik secara istilahi maupun secara dalil syar’i.
2. Apabila perilaku yang diungkap dalam hadis itu dimaknai isbal, konsekuensinya hadis ini harus diterima sebagai tafsir isbal, sehingga harus konsisten bahwa hadis-hadis itu tidak dapat dikategorikan sebagai hadis mutlaq.
3. Apabila perilaku yang diungkap dalam hadis itu tidak dimaknai isbal, akan dimaknai apa? Sebab bila dimaknai jarr, atau yajurru, atau wathi’a pun dalam hadis-hadis itu terdapat qayyid khuyala atau bathran.
Hemat kami perilaku yang diungkap dalam hadis itu harus dimaknai isbal karena berdasarkan riwayat Imam Malik dan lain-lain seperti dijelaskan di atas dapat diketahui bahwa redaksi ini:
مَا أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ مِنَ الإِزَارِ فَفِي النَّارِ
Tidak mandiri, tapi berkaitan dengan kalimat sebelum dan sesudahnya sebagai berikut:
إِزَرَةُ الْمُؤْمِنِ إِلَى أَنْصَافِ سَاقَيْهِ لاَ جُنَاحَ عَلَيْهِ فِيْمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْكَعْبَيْنِ مَا أَسْفَلَ مِنْ ذلِكَ فَفِي النَّارِ لاَ يَنْظُرُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلَى مَنْ جَرَّ إِزَارَهُ بَطَرًا
Batas sarung seorang mukmin sampai pertengahan betis, dan dibolehkan di atas mata kaki, dan yang dibawah mata kaki tempatnya di dalam neraka, dan barangsiapa menyeret sarungnya dengan sombong, Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat.
Bila dilihat dari kalimat sebelumnya:
إِزَرَةُ الْمُؤْمِنِ إِلَى أَنْصَافِ سَاقَيْهِ لاَ جُنَاحَ عَلَيْهِ فِيْمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْكَعْبَيْنِ
Maka redaksi ini diungkap dalam konteks batasan kebolehan izar dilihat dari alur atas, yaitu sampai pertengahan betis dan boleh di atas mata kaki.
Sedangkan kalimat:
مَا أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ مِنَ الإِزَارِ فَفِي النَّارِ
Diungkap dalam konteks batas awal larangan isbal, yaitu mulai dari bawah mata kaki.
Adapun kalimat sesudahnya:
لاَ يَنْظُرُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلَى مَنْ جَرَّ إِزَارَهُ بَطَرًا
Menunjukkan batasan maksimal larangan isbal, yaitu hingga menyeret ke tanah.
Dengan demikian, hadis ini hendak menjelaskan ukuran isbal dilihat dari atas ke bawah, yakni mulai dari bawah mata kaki hingga menyeret tanah.
Sedangkan analisa alur sebaliknya (dari bawah ke atas) dapat dilihat dalam kasus Ibnu Umar. Kata Nabi saw.:
يَا عَبْدَ اللَّهِ ارْفَعْ الْإِزَارَ فَإِنَّ مَا مَسَّتِ الأَرْضُ مِنَ الإِزَارِ إِلَى مَا أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ فِى النَّارِ
Wahai Abdullah, angkatlah izar itu, karena bagian izar yang menyentuh tanah hingga yang sebawah mata kaki di neraka. H.r. Ahmad, al-Musnad, II:96, No. 5713
Dari hadis ini dapat diketahui bahwa dilihat dari bawah ke atas ukuran isbal itu mulai dari kain yang menyeret tanah hingga di bawah mata kaki.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perilaku yang diungkap dalam hadis itu harus dimaknai isbal karena Nabi saw. menyertakan kalimat:
لاَ يَنْظُرُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلَى مَنْ جَرَّ إِزَارَهُ بَطَرًا
Sedangkan kalimat ini sebagai tafsir kata isbal seperti yang dijelaskan sebelumnya, yaitu:
إِنَّ اللهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى الْمُسْبِلِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Sesungguhnya Allah tidak akan memperhatikan al-musbil pada hari kiamat. H.r. Ahmad, al-Musnad, II:318, No. 8212.
Dalam riwayat Muslim (Shahih Muslim, III:1653, No. 2087) dengan redaksi:
إِنَّ اللَّهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى مَنْ يَجُرُّ إِزَارَهُ بَطَرًا
Dalam riwayat al-Bukhari (Shahih al-Bukhari, V:2182, No. 5451) dengan redaksi:
لَا يَنْظُرُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلَى مَنْ جَرَّ إِزَارَهُ بَطَرًا
Kedua, benarkah hadis itu mutlaq?
Di atas telah dijelaskan bahwa redaksi ini:
مَا أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ مِنَ الإِزَارِ فَفِي النَّارِ
tidak mandiri, tapi berkaitan dengan kalimat sebelum dan sesudahnya. Bahkan dalam hadis-hadis berikut kalimat ini selalu disertai dengan kalimat sesudahnya
وَمَا أَسْفَلَ مِنْ الْكَعْبَيْنِ فِي النَّارِ يَقُولُ ثَلَاثًا لَا يَنْظُرُ اللَّهُ إِلَى مَنْ جَرَّ إِزَارَهُ بَطَرًا – رواه إبن ماجة –
مَا كَانَ أَسْفَلَ مِنْ الْكَعْبَيْنِ فَهُوَ فِي النَّارِ مَنْ جَرَّ إِزَارَهُ بَطَرًا لَمْ يَنْظُرْ اللَّهُ إِلَيْهِ – رواه أبو داود –
مَا أَسْفَلَ مِنْ ذلِكَ فَفِي النَّارِ لاَ يَنْظُرُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلَى مَنْ جَرَّ إِزَارَهُ بَطَرًا – رواه أحمد –
Dengan demikian redaksi:
وَمَا أَسْفَلَ مِنْ الْكَعْبَيْنِ فِي النَّارِ
Tidak dapat dikategorikan sebagai kalimat mutlaq.
Apabila redaksi:
وَمَا أَسْفَلَ مِنْ الْكَعْبَيْنِ فِي النَّارِ
Dikategorikan sebagai kalimat mutlaq. Maka redaksi:
لَا يَنْظُرُ اللَّهُ إِلَى مَنْ جَرَّ إِزَارَهُ بَطَرًا
Akan dikategorikan sebagai kalimat apa? Dan apa kepentingan Nabi menempatkannya setelah kalimat:
وَمَا أَسْفَلَ مِنْ الْكَعْبَيْنِ فِي النَّارِ
Dalam perkataan lain: kedudukan redaksi itu secara struktur kalimat sebagai apa?
Ketiga, kaidah Ushul al-Fiqh
حَمْلُ الْمُطْلَقِ عَلَى الْمُقَيَّدِ وَاجِبٌ إِذَا اتَّفَقَ فِي السَّبَبِ وَالْحُكْمِ
“Memahami makna lafal mutalq dengan makna muqayyad adalah wajib apabila sesuai dalam sebab dan hukumnya”
Menurut mereka, yang jadi sebab dalam masalah ini adalah isbal secara mutlaq dan isbal dengan sombong. Sedang yang jadi hukum adalah pertama: ancaman neraka. Kedua: (a) Allah swt. tidak akan melihatnya pada hari kiamat, (b) tidak akan berbicara dengannya, (c) tidak akan mensucikannya, dan (d) dia mendapatkan siksaan yang pedih.
Karena sebab dan hukumnya berbeda maka kaidah itu tidak dapat digunakan dalam konteks ini.
Cara pemahaman seperti ini hemat kami keliru, disebabkan katidaktepatan dalam memahami maksud as-sabab dan al-hukm.
Pertama, pengertian as-Sabab
السَّبَبُ عِبَارَةٌ عَنْ وَصْفٍ ظَاهِرٍ مُنْضَبِطٍ دَلَّ الدَّلِيلُ الشَّرْعِيُّ عَلَى كَوْنِهِ مُعَرِّفًا لِثُبُوتِ حُكْمٍ شَرْعِيٍّ
As-sabab adalah keterangan tentang sifat (makna) zhahir (jelas) lagi pasti, yang ditunjukkan oleh dalil syara bahwa ia merupakan pemberi informasi (indicator) mengenai keberadaaan hukum syara’. Lihat, at-Tahbir Syarh at-Tharir fi Ushul al-Fiqh, III:1066; Syarh al-Kaukab al-Munir, I:451
Sebagai contoh, melihat bulan pada awal Ramadhan sebagai sebab wajibnya mengerjakan shaum. Tergelincir matahari sebagai sebab wajibnya shalat Zhuhur.
Sekarang kita analisa tentang masalah isbal: Sombong sebagai sebab haramnya isbal, maka ini sesuai dengan kaidah as-sabab di atas. Namun bila isbalnya yang menjadi sebab, maka perbuatan apa yang diharamkannya? Pemahaman ini jelas keliru. Karena keliru, berarti sebabnya sama, yakni sombong.
Kedua, pengertian al-hukm
secara istilah terjadi perbedaan sudut pandang antara ushuliyyun (ahli ushul al-fiqh) dan fuqaha (ahli fiqh) dalam menjelaskan hukum. Hukum menurut istilah ahli Ushul Fiqh adalah
خِطَابُ اللهِ تَعَالَى الْمُتَعَلَّقُ بِأَفْعَالِ الْمُكَلَّفِيْنَ بِالإِقْتِضَاءِ أَوِ التَّخْيِيْرِ أَوِ الْوَضْعِ
khitab (titah) Allah yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf (orang yang dikenai hukum), berupa iqtidha (tuntutan), atau takhyir (pilihan), atau al-wadh-i (hukum berdasarkan sebab, syarat, atau penghalang). Dan hukum terbagi dua: (1) taklifi, (2) wad’i
Definisi di atas menunjukkan bahwa hukum menurut ushuliyyun adalah setiap khitab syar’i mengenai perbuatan manusia yang menuntut agar dilakukan suatu perintah atau ditinggalkan suatu larangan, sebagai contoh firman Allah (Q.s. Al-Ankabut:45):
وَأَقِمْ الصَّلَاةَ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَى عَنْ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ
Firman Allah dalam ayat ini adalah khitab syar’I yang menuntut agar salat itu dilakukan. Dengan demikian firman Allah itu disebut khitab syar’i.
Nash-nash quran dan sunnah, baik yang mengandung tuntutan, pilihan, maupun dijadikan sebagai sebab, syarat, dan penghalang menurut ushuliyyun disebut khitab syar’i.
Sedangkan menurut fuqaha bahwa yang disebut hukum syar’I itu adalah perbuatan yang dikenai khitab. Dengan perkataan lain, hukum perbuatannya itu sendiri. Sebagai contoh firman Allah dalam suart al-Ankabut di atas. Khitab Allah dalam ayat tersebut mengandung kewajiban melaksanakan salat. Khitab yang menerangkan kewajiban salat itu adalah hukum menurut ushuliyyun. Sedangkan menurut fuqaha kewajiban salat itulah yang disebut hukum.
Dari definisi ushuliyyun di atas tampak jelas bahwa hukum itu terbagi kepada dua macam: taklifi dan wadh’i. Hukum Taklifi adalah khitab (titah) syar’i yang mengandung tuntutan untuk dikerjakan oleh mukallaf atau untuk ditinggalkannya atau yang mengandung pilihan antara dikerjakan dan ditinggalkan.
Ushuliyyun membagi hukum taklif kepada dua macam: a. Dilihat dari khitab, b. dilihat dari mahkum bih (perbuatan subjek hukum). Dilihat dari khitab, hukum terbagi kepada 5 jenis: ijab, nadb, tahrim, karahah, ibahah. Sedangkan dilihat dari mahkum bih, hukum terbagi kepada 5 jenis pula: wajib, mandub, haram, makruh, dan mubah.
Itulah hukum yang dimaksud dalam kaidah Ushul al-Fiqh
حَمْلُ الْمُطْلَقِ عَلَى الْمُقَيَّدِ وَاجِبٌ إِذَا اتَّفَقَ فِي السَّبَبِ وَالْحُكْمِ
Sekarang kita analisa tentang masalah isbal. Menurut mereka hukum dalam masalah isbal juga berbeda. Pertama: hukumnya ancaman neraka. Kedua: (a) Allah swt. tidak akan melihatnya pada hari kiamat, (b) tidak akan berbicara dengannya, (c) tidak akan mensucikannya, dan (d) dia mendapatkan siksaan yang pedih.
Dari penjelasan di atas tampak jelas bahwa mereka keliru memahami hukum yang dimaksud dalam kaidah di atas, sebab hukum-hukum yang disebut oleh mereka hemat kami dikategorikan sebagai ’uqubah (sanksi). Ini berbeda dengan hukum dalam kategori ushuliyyun dan fuqaha di atas.
Dalam hukum kategori ushuliyyun dan fuqaha, uqubah (a) ancaman neraka, (b) Allah swt. tidak akan melihatnya pada hari kiamat, (c) tidak akan berbicara dengannya, (d) tidak akan mensucikannya, dan (e) dia mendapatkan siksaan yang pedih, disebut sebagai salah satu bentuk dilalah khitab tahrim (petunjuk hukum pengharaman).
Dengan demikian, (a) ancaman neraka, (b) Allah swt. tidak akan melihatnya pada hari kiamat, (c) tidak akan berbicara dengannya, (d) tidak akan mensucikannya, dan (e) dia mendapatkan siksaan yang pedih, semuanya menunjukkan hal yang sama yaitu ”isbal hukumnya haram karena kesombongan” Jadi, kesombongan sebagai sebab diharamkannya isbal.
Bila kategori ushuliyyun dan fuqaha yang dijadikan acuan, tentu saja kita akan sepakat bahwa dalam masalah ini berlaku kaidah ushul fiqih
حَمْلُ الْمُطْلَقِ عَلَى الْمُقَيَّدِ وَاجِبٌ إِذَا اتَّفَقَ فِي السَّبَبِ وَالْحُكْمِ
“Memahami makna lafal mutlaq dengan makna muqayyad adalah wajib apabila sesuai dalam sebab dan hukumnya”
Ibnu Hajar berkata:
وَفِي هَذِهِ الْأَحَادِيث أَنَّ إِسْبَال الْإِزَار لِلْخُيَلَاءِ كَبِيرَة وَأَمَّا الْإِسْبَال لِغَيْرِ الْخُيَلَاء فَظَاهِر الْأَحَادِيث تَحْرِيمه أَيْضًا. لَكِنْ اُسْتُدِلَّ بِالتَّقْيِيدِ فِي هَذِهِ الْأَحَادِيث بِالْخُيَلَاءِ عَلَى أَنَّ الْإِطْلَاق فِي الزَّجْر الْوَارِد فِي ذَمّ الْإِسْبَال مَحْمُول عَلَى الْمُقَيَّد هُنَا, فَلَا يَحْرُم الْجَرّ وَالْإِسْبَال إِذَا سَلِمَ مِنْ الْخُيَلَاء
“Hadis-hadis ini menunjukkan bahwa isbal (menyeret) sarung karena sombong termasuk dosa besar. Adapun isbal yang bukan karena sombong, maka zhahir-nya hadis-hadis itu juga mengharamkannya. Namun taqyid sombong pada hadis-hadis ini dipakai untuk dalil, bahwa hadis-hadis lain tentang larangan isbal yang mutlak (tanpa menyebutkan kata sombong) harus dipahami dengan taqyid sombong ini, sehingga isbal dan menyeret pakaian tidak diharamkan bila selamat dari rasa sombong”. Lihat, Fath al-Bari, X:263. Pembahasan lengkap tentang pendapat Ibn Hajar akan disampaikan pada makalah khusus.
Setelah menganalisa berbagai keterangan tentang masalah ini, kami berkesimpulan bahwa yang menjadi sebab larangan menyeret/melabuhkan pakaian itu adalah khuyala’a (sombong), bukan semata-mata melabuhkan pakaian hingga menutup mata kaki.
selesai
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar