Sabtu, 22 Desember 2012

SEJARAH & SYARIAH ZAKAT FITRAH (BAGIAN III) oleh Ustad Amin Saefullah Muchtar


Ketiga, besaran minimal yang diwajibkan

Ukuran kewajiban zakat fitrah bagi tiap orang sebanyak sha’an (1 sha’), sebagaimana diterangkan dalam hadis sebagai berikut:
فَرَضَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله ُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ اَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيْرٍ عَلَى اْلعَبْدِ وَالْحُرِّ وَالذَّكَرِ وَالأُنْثَىْ وَالصَّغِيْرِ وَالْكَبِيْرِ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ
"Rasulullah saw. mewajibkan zakat fitrah satu shaa' dari kurma, atau satu haa' dari syair (gandum) atas hamba sahaya, orang yang merdeka, laki-laki perempuan, anak kecil dan dewasa dari kalangan muslimin...” (HR. Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, II:547, No. hadis 1432)
Perlu diketahui bahwa Shaa’ itu adalah istilah dalam ukuran isi/volume, bukan ukuran berat,  seperti halnya liter bukan kilogram. Dan ukuran isi tidak mengalami perubahan walaupun yang ditakarnya berbeda jenis. Misalnya, 1 liter beras Karawang sama isinya dengan 1 liter beras Cianjur. Tapi lain halnya ketika hendak ditetapkan berdasarkan Kg, karena akan mengalami perbedaan tergantung jenis benda yang ditakarnya.
Adapun shaa' yang dimaksud di dalam hadis di atas ialah shaa' nabawi, yaitu shaa' yang berlaku di zaman Nabi saw.  Bila dikonversi berdasarkan satuan isi, maka dapat diperoleh hasil sebagai berikut:  1 sha = 4 mud = 2770,47 cc = + 3,1 liter. Berdasarkan satuan isi, maka beras apapun yang dikonsumsi oleh muzakki, maka ukuran yang dikeluarkannya akan sama.
Sedangkan bila dikonversi berdasarkan satuan berat jenis, maka hasilnya dapat beragam. Dalam konteks inilah kita dapat memahami apabila para ulama berbeda pendapat tentang ukuran satu shaa’ sebagai berikut:
Menurut satu pendapat, satu shaa' nabawi sebanding dengan 480  mitsqaal biji gandum yang bagus. Satu mitsqaal sama dengan 4,25 gram. Sementara 480 mitsqaal sebanding dengan 2040 gram. Berarti satu shaa’ sebanding dengan 2040 gram atau 2,4 Kg. (Syarhul Mumti', juz 6, hlm. 176)
Sedangkan menurut pendapat Syaikh Abdullah Al-Bassam, satu shaa' nabawi adalah empat mud. Sementara satu mud setara dengan 625 gram, karena itu satu shaa' nabawi sama dengan 3000 gram atau 3 Kg. (Lihat, Tawdhih Al Ahkam Syarah Bulughul Maram,  III:178)
Sementara menurut Dr. Wahbah Az-Zuhaili, 1 mud itu sama dengan 675 gram, berarti 1 sha’ sama dengan 2751 gram atau 2,75 Kg. (At-Tafsirul Muniir, juz 2, hlm. 141).
Berdasarkan ukuran yang telah disebutkan, maka kita bisa memperkirakan bahwa satu shaa’ berkisar antara 2040 gram (2,4 Kg) hingga 3000 gram  (3 Kg).
Berdasarkan satuan berat jenis, maka ukuran zakat yang dikeluarkan oleh muzakki pada hakikatnya tidak boleh sama tergantung jenis beras yang biasa dikonsumsi oleh masing-masing muzakki. Di sinilah terkadang “neraca menjadi miring”, ketika membayar hak orang lain digunakan beras “Raskin” sementara yang dikonsumsi sehari-hari beras “super”, misalnya.
Karena itu, bila ditetapkan 2,5 Kg maka ini menunjukkan berat jenis beras yang rata-rata dikonsumsi oleh mayoritas masyarakat di lingkungan kita.
Demikian pula, apabila dikonversi berdasarkan qiimah (satuan harga) maka disesuaikan dengan harga jenis beras yang bersangkutan. Karena itu, berdasarkan konversi qiimah, besaran zakat fitrah setiap tahun bisa jadi berubah sesuai dengan perubahan harga yang berlaku saat itu.

Keempat, apakah makanan pokok menjadi syarat sah zakat fitrah?

Di dalam hadis-hadis tentang zakat fitrah, kita akan mendapatkan bahwa zakat fitrah itu berupa tha’aam (makanan). Adapun hadis-hadis itu sebagai berikut: 
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ
Ibnu Umar mengatakan, "Rasulullah saw. mewajibkan zakat fitrah satu shaa' dari kurma, atau satu sha dari syair (gandum)” (HR. Al-Bukhari,  Shahih Al-Bukhari, II:548, No. hadis 1439)
عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَضَ زَكَاةَ الْفِطْرِ مِنْ رَمَضَانَ عَلَى النَّاسِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى كُلِّ حُرٍّ أَوْ عَبْدٍ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى مِنَ الْمُسْلِمِينَ
Dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah saw. mewajibkan zakat fitrah satu shaa' dari kurma, atau satu shaa’ dari syair (gandum), atas hamba sahaya, orang yang merdeka, laki-laki, perempuan, anak kecil dan dewasa dari kalangan muslimin. (HR. Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, II:548, No. hadis 1439)

Demikian pula praktik para sahabat atas ketentuan itu, sebagaimana dijelaskan oleh Abu Sa’id Al-Khudriy berikut:
كُناَّ نُخْرِجُ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الفِطْرِ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ
“Kami (para sahabat) mengeluarkan zakat firtah di zaman Rasulullah saw. pada (waktu) hari raya fitri (berupa) satu shaa' dari makanan.” (HR. Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, II:548, No. hadis 1439)

Apabila hadis-hadis di atas dibaca secara mantuq (makna tersurat) dan konsisten tidak akan menerima mafhum (makna tersirat), maka zakat fitrah yang wajib dikeluarkan terbatas jenisnya, yakni kurma dan gandum. Adapun kata At-Tha’aam pada hadis Abu Sa’id Al-Khudriy tidak dapat dimaknai makanan secara umum karena sudah ada bayaan tafshiil (keterangan terperinci) pada hadis-hadis sebelumnya. Berdasarkan pendekatan mantuq hadis-hadis itu, maka zakat fitrah dengan beras atau jagung tidak sesuai dengan mantuq-nya, kedudukannya sama dengan mengeluarkan dalam bentuk qiimah (harga atau nilai barang).

Namun, benarkah demikian pesan utama Nabi saw., yaitu bahwa zakat fitrah wajib dikeluarkan hanya dalam bentuk kurma dan gandum?
Hemat kami, kalimat min tamrin atau min sya’iir dalam struktur kalimat di atas fungsinya bukan bayaan lit takhsiis (keterangan pengkhusus), melainkan bayaan lit tanshiish (keterangan penegas/prioritas) sesuai dengan situasi dan kondisi mustahiq di suatu daerah tertentu. Hal itu didasarkan atas pertimbangan sebagai berikut:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ
Dari Ibnu Abas, ia berkata, “Rasulullah saw. mewajibkan zakat fitrah sebagai pensuci bagi yang saum dari ucapan sia-sia dan kotor dan sebagai makanan bagi orang miskin.” (HR. Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, I:585, No. Hadis 1609; Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, I:585, No. Hadis 1827; Ad-Daraquthni, Sunan Ad-Daraquthni, II:138, No. Hadis 1)
Dari hadis di atas kita dapat memahami bahwa bahwa Rasulullah saw. menetapkan zakat fitrah dengan dua jenis makanan (kurma & gandum) karena dua sebab:
Pertama, dilihat dari sisi mustahiq, kedua jenis makanan itu lebih bermanfaat untuk orang miskin waktu itu sebagai thu’matan (makanan mudah saji).
Kedua, dilihat dari sisi muzakki, kedua jenis makanan itu waktu itu lebih mudah didapat atau biasa dimiliki secara umum.
Hal ini tampak semakin jelas didukung oleh data faktual yang menunjukkan bahwa pada praktiknya para sahabat memperluas jenis makanan dari yang disebut oleh Rasul. Ibnu Umar menjelaskan:
كَانَ النَّاسُ يُخْرِجُونَ عَنْ صَدَقَةِ الْفِطْرِ فِي عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ أَوْ تَمْرٍ أَوْ سُلْتٍ أَوْ زَبِيبٍ

"Dahulu orang-orang mengeluarkan zakat fitrah di zaman Nabi saw. sebesar satu sha' sya’iir (gandum), tamr (kurma), atau Sult (sejenis gandum yang berwarna putih tak berkulit) atau Zabiib (anggur kering)." (HR. An-Nasai, Sunan An-Nasai, V:53, No. hadis 2516; As-Sunan Al-Kubra, II:28, No. hadis 2295)
Abu Said al-Khudriy  menjelaskan:
كُنَّا نُخْرِجُ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ أَقِطٍ أَوْ صَاعًا مِنْ زَبِيبٍ
“Kami mengeluarkan zakat fitrah  1 sha makanan atau 1 sha sya’ir (gandum), atau tamr (kurma), atau aqith (susu kering/keju), atau Zabiib (kismis/anggur kering).” (HR. Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, II:548, No. hadis 1439)

Dalam redaksi lain
كُنَّا نُخْرِجُ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ أَقِطٍ لَا نُخْرِجُ غَيْرَهُ
"Kami pernah mengeluarkan zakat fitrah di masa Rasulullah saw. sebesar satu shaa' kurma, satu shaa' gandum atau satu shaa' susu kering. Kami tidak mengeluarkan yang lain." (HR. An-Nasai, Sunan An-Nasai, V:53, No. hadis 2518) كُنَّا نُخْرِجُ صَدَقَةَ الْفِطْرِ إِذْ كَانَ فِينَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ أَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ أَقِطٍ فَلَمْ نَزَلْ كَذَلِكَ حَتَّى قَدِمَ مُعَاوِيَةُ مِنْ الشَّامِ وَكَانَ فِيمَا عَلَّمَ النَّاسَ أَنَّهُ قَالَ مَا أَرَى مُدَّيْنِ مِنْ سَمْرَاءِ الشَّامِ إِلَّا تَعْدِلُ صَاعًا مِنْ هَذَا قَالَ فَأَخَذَ النَّاسُ بِذَلِكَ
"Kami mengeluarkan zakat fitrah ketika Rasulullah saw.  masih ada di antara kami sebesar satu sha' makanan, satu sha' kurma, satu sha' gandum atau satu sha' susu kering. Kami terus melaksanakan seperti itu hingga Mu'awiyah datang dari Syam. Dan di antara yang ia ajarkan kepada orang-orang adalah Ia berkata, ‘Kami tidak melihat dua mud gandum Syam kecuali setara dengan satu sha' dari ini.’ Abu Sa'id berkata, 'Maka orang-orang mengambil pendapat tersebut'.” (HR. An-Nasai, Sunan An-Nasai, V:51, No. hadis 2513; As-Sunan Al-Kubra, II:27, No. hadis 2292)
Mengapa jenis makanannya diperluas? Kata Abu Sa’id:
كَانَ طَعَامَنَا الشَّعِيرُ وَالزَّبِيبُ وَالْأَقِطُ وَالتَّمْرُ
“sya’ir (gandum), Zabib (kismis/anggur kering), aqith (susu beku/keju), dan tamr (kurma) adalah makanan kami” (HR. Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, II:548, No. hadis 1439)

Keterangan Abu Said di atas menunjukkan bahwa:
(1) para sahabat memahami hadis Nabi tentang zakat fitrah itu tidak secara mantuq (makna tersurat), namun secara mafhum (makna tersirat),
(2) yakni para sahabat memahami hadis itu bukan sebagai  takhsis (pengkhususan), hal itu terbukti dengan diperluas jenis makanannya,
(3) Secara ekonomi, jenis pangan yang dimiliki oleh publik zaman sahabat sudah lebih berkembang daripada zaman Nabi.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa yang menjadi pokok kewajiban zakat fitrah itu bukan “barangnya” melainkan “nilainya”, yaitu 1 sha’ atau yang senilai sha’ dalam ukuran isi (liter), berat (Kg), dan harga (Rp atau mata uang lainnya). Konversi nilai itu pernah dilakukakan oleh Mu’awiyah sebagaimana diterangkan dalam hadis sebagai berikut:
قَالَ إِنِّي أَرَى أَنَّ مُدَّيْنِ مِنْ سَمْرَاءِ الشَّامِ تَعْدِلُ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ فَأَخَذَ النَّاسُ بِذَلِكَ
Ia berkata, “Saya memandang bahwa 2 mud gandum Syam senilai dengan 1 sha kurma.” Maka orang-orang mengambil konversi itu. (HR. Muslim, Shahih Muslim, II:678, No. hadis 985; Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, II:113, No. hadis 1616; Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubra, IV:165, No. hadis 7490)
Karena itu, para tabi’in sebagai murid shahabat Nabi saw., seperti Umar bin Abdul Aziz, al-Hasan al-Bishri, dan Atha telah menetapkan zakat fitrah oleh harga/uang (dirham). Waktu itu Umar bin Abdul Aziz menetapkan nilai 1 sha = ½ dirham. (lihat, Mushannaf Ibnu Abu Syaibah, II:398)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar