Sabtu, 22 Desember 2012

SEJARAH & SYARIAH ZAKAT FITRAH (BAGIAN II) oleh Ustad Amin Saefullah Muchtar


Kedua, Mustahiq/Masharif (Sasaran) Zakat 
Menurut Alquran, sasaran zakat atau yang lebih populer dengan sebutan mustahik (yang berhak menerima zakat) ada 8 ashnaf (golongan). Firman Allah Swt.:
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَاِبْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنْ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. At-Taubah:60)
Bila ayat di atas kita perhatikan secara seksama, setidaknya ada dua hal yang perlu digaris bawahi; Pertama, kriteria ashnaf itu sendiri. Kedua, ushlub (gaya bahasa) Alquran dalam mengungkap sasaran zakat.

A. Kriteria Ashnaf
1. Fuqara (Fakir)
orang yang tidak mempunyai harta dan tenaga untuk memenuhi kebutuhan hidupannya (primer).
2. Masakin (Miskin)
orang yang mempunyai harta dan tenaga, tapi tidak mencukupi keperluan hidupnya (primer).
3. Amilin
orang yang bertugas untuk mengumpulkan dan membagikan zakat.
4. Mu'allaf
a. orang kafir yang ada harapan masuk Islam
b. orang yang baru masuk Islam yang imannya masih lemah 
5. Riqab
orang yang memerdekakan hamba sahaya.
6. Gharimin
orang yang berhutang karena untuk kepentingan yang bukan ma'siatan dan tidak sanggup membayarnya.
7. Sabilillah
orang yang bersungguh-sungguh dalam menegakkan ajaran Islam (memelihara berlakunya kebenaran, kebaikan, dan keutamaan akhlak)
8. Ibnu Sabil
orang yang kehabisan bekal di tengah perjalanan, walaupun ia orang kaya di negerinya.

B. Ushlub (Gaya Bahasa) Alquran
Dalam mengungkap sasaran zakat di atas Alquran menggunakan ushlub (gaya bahasa) sastra yang tinggi nilainya, yaitu pada ayat di atas terdapat dua huruf yang masing-masing mengiringi empat ashnaf pertama dan empat ashnaf kedua, yakni laam/li  dan fie. Huruf laam mengiringi kalimat:
لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ
al-fuqara, al- masakin, al-’amilin, dan al-muallaf qulubuhum (empat ashnaf pertama). Sedangkan huruf fie mengiringi kalimat:
وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَاِبْنِ السَّبِيلِ
ar-riqab, al-gharimin, sabilillah, dan ibnus sabil (empat ashnaf kedua).
Penempatan kedua huruf tersebut tentunya bukan suatu kebetulan, tetapi pasti mengandung nuktah (rahasia halus) yang harus dikaji secara mendalam. Dan menurut hemat kami, penempatan kedua huruf tersebut mengandung arti bahwa empat ashnaf yang pertama adalah para pemilik dari zakat tersebut, dalam arti mereka berhak mendapat bagian untuk dirinya sendiri.
Sementara empat ashnaf yang kedua mereka berhak menerima zakat untuk kemaslahatan yang berkaitan erat dengan “acara” mereka. Seperti al-gharimun (orang yang berhutang), mereka mendapat bagian dari zakat bukan untuk dimiliki secara pribadi, tetapi untuk diserahkan kepada orang yang menghutangkannya, sehingga mereka terbebas dari hutang itu. Demikian pula dengan fie sabilillah, mereka mendapat bagian dari zakat bukan semata-mata kepentingan pribadinya melainkan tugas dan tanggung jawab dalam mengemban amanah Islam, yaitu untuk memelihara berlakunya kebenaran (al-haq), kebaikan, dan kesempurnaan akhlak. Dengan perkataan lain, untuk menegakkan agama Islam.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa secara garis besar sasaran zakat itu ada dua bagian:
Bagian pertama ialah ashnaf yang terdiri dari mereka yang boleh menerima zakat untuk dirinya sendiri, yaitu al-fuqara, al-masakin, al-amilin, dan al-muallaf qulubuhum. Sedangkan bagian kedua ialah ashnaf yang terdiri dari orang-orang yang berhak menerima zakat bukan semata-mata kepentingan pribadi melainkan untuk kemaslahatan “acara” mereka, yaitu ar-riqab, al-gharimin, sabilillah, dan ibnus sabil.

Lebih jauh Imam az Zamakhsyari berpandangan bahwa perpindahan dari “li” pada empat ashnaf pertama kepada “fie” pada empat ashnaf kedua mengandung rahasia, yaitu untuk memberitahukan bahwa empat golongan kedua ini lebih layak untuk diprioritaskan daripada empat golongan pertama, sebab “fie” merupakan wadah untuk menampung, yang dengan itu Allah mengingatkan bahwa mereka lebih berhak atasnya dan menjadikannya sebagai tempat harapan untuk mewujudkan kemaslahatan kaum muslimin secara umum.

Masalah sasaran zakat telah selesai kita bahas. Masih ada masalah yang mesti kita kaji, yaitu wajibkah amil mendistribusikan zakat  atau muzakki (wajib zakat) menyerahkan zakat kepada semua ashnaf yang delapan, dan menyamaratakan prosentase zakat yang dibagikan di antara mereka?

Hemat kami, semua harta zakat boleh diberikan kepada sebagian sasaran tertentu saja untuk mewujudkan kemaslahatan yang sesuai dengan syara. Disamping itu tidak ada kewajiban untuk menyamaratakan pemberian tersebut kepada individu yang diberinya, tapi boleh melebihkan prosentase bagian yang satu dengan yang lainya sesuai dengan kebutuhan, karena kebutuhan itu berbeda antara yang satu dan yang lainya. Adapun landasan syariatnya adalah sebagai berikut :
1. Dari Hudzaifah, ia berkata, “Apabila engkau memberikan zakat pada satu sasaran saja, maka hal itu cukup bagimu.” (Tafsir Ath-Thabari ,VI : 404).
2. Ibnu Abas berkata, “Apabila engkau memberikan zakat pada satu sasaran dari sasaran zakat, maka hal itu cukup bagimu. sedangkan Firman Allah : “Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk para fakir......”, maksudnya agar zakat itu jangan diberikan kepada yang selain sasaran tersebut.”
3. Pendapat di atas juga menjadi pegangan Umar bin Khatab, Sa’id bin jabir, ‘Atha, Abul ‘Aliyyah, dan Ibrahim an-Nakha’i (Tafsir Ath-Thabari, Ibid.,)
4. Abu Tsaur berkata, “menurut pendapat kami, permasalahan pembagian zakat, tidaklah ada, kecuali berdasarkan ijtihad penguasa, maka mana diantara sasaran itu yang menurut penguasa lebih banyak jumlahnya dan lebih membutuhkan, itulah yang harus diutamakan. Dan mudah-mudahan dari tahun ke tahun zakat itu berpindah dari satu sasaran kepada sasaran lain. Sasaran yang lebih membutuhkan dan lebih banyak jumlahnya, senantiasa harus didahulukan dimanapun mereka berada.” (Fiqh Az-Zakah, Dr. Yusuf Al-Qardhawi, hlm. 667).
5. kebolehan memberikan zakat pada seorang mustahiq dari satu sasaran tidak ada bantahan dan tidak pula termasuk syubhat. Adapun kalimat tu’matan lil masakin  yang berkaitan dengan zakat fitrah, atau turadduna ila fuqaraihim yang berkaitan dengan zakat mal, sebagaimana yang diungkapkan oleh hadis Rasul, maka hal itu bukanlah takhshish (pengkhususan), melainkan tanshish (penekanan/prioritas) yang bersifat kondisional.
6. Adapun tentang prosentase Ibnu Qudamah menjelaskan:
وَإِنْ اجْتَمَعَ فِي وَاحِدٍ أَسْبَابٌ تَقْتَضِي الْأَخْذَ بِهَا ، جَازَ أَنْ يُعْطَى بِهَا ، فَالْعَامِلُ الْفَقِيرُ لَهُ أَنْ يَأْخُذَ عِمَالَتَهُ ، فَإِنْ لَمْ تُغْنِهِ فَلَهُ أَنْ يَأْخُذَ مَا يَتِمُّ بِهِ غِنَاهُ ، فَإِنْ كَانَ غَازِيًا فَلَهُ أَخْذُ مَا يَكْفِيه لِغَزْوِهِ ، وَإِنْ كَانَ غَارِمًا أَخَذَ مَا يَقْضِي بِهِ غُرْمَهُ ؛ لِأَنَّ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْ هَذِهِ الْأَسْبَابِ يَثْبُتُ حُكْمُهُ بِانْفِرَادِهِ ، فَوُجُودِ غَيْرِهِ لَا يَمْنَعُ ثُبُوتَ حُكْمِهِ
“Dan jika pada salah satu terkumpul beberapa sebab yang menghendaki (melegitimasi) pengambilan zakat berdasarkan sebab itu, maka ia boleh diberi berdasarkan sebab itu. Misalkan amil yang faqir, ia punya hak mengambil bagian zakatnya. Jika tidak dapat menutupi kefakirannya, ia berhak mengambil pula untuk dapat memenuhi keperluannya itu (sebagai hak faqir). Maka jika dia sebagai prajurit (fi sabilillah), ia punya hak mengambil bagian zakat untuk keperluan perangnya. Dan jika dia seorang gharim ia punya hak mengambil bagian zakat untuk melunasi hutangnya. Karena tiap-tiap sebab itu ditetapkan hukumnya berdasarkan sebab masing-masing (bukan karena sama orangnya, tapi karena beda sebabnya). Adanya satu sebab tidak menghalangi tetapnya hukum atas sebab yang lain.” (Lihat, Al-Mughni, V:223)

Adapun hadis yang menyatakan:
فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ
 “Rasulullah saw. mewajibkan zakat fitrah sebagai pensuci bagi yang saum dari ucapan sia-sia dan kotor dan sebagai makanan bagi orang miskin” (HR. Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, I:585, No. Hadis 1609; Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, I:585, No. Hadis 1827; Ad-Daraquthni, Sunan Ad-Daraquthni, II:138, No. Hadis 1)
Tidak tepat bila digunakan sebagai mukhashshis (dalil yang mengecualian) bahwa zakat fitrah itu dikhususkan bagi mustahiq miskin. Karena ungkapan Thu’matan lil masaakiin (sebagai makanan bagi orang miskin) dalam struktur kalimat di atas fungsinya bukan bayan lit takhsis (keterangan pengkhusus), melainkan bayan lit tanshish (keterangan penegas/prioritas) sesuai dengan situasi dan kondisi mustahiq di suatu daerah tertentu.
Sedangkan hadis yang menyatakan:
أَغْنُوهُمْ عَنْ الطَّوَافِ فِي هَذَا الْيَوْمِ
“Cegahlah mereka agar tidak keliling (untuk minta-minta) pada hari ini.” (HR. Ibnu ‘Addiy dan Ad-Daraquthni)
Menurut Ibnu Hajar Al-Asqalani, statusnya dha’if. (Lihat, Bulugh Al-Maraam Min Jam’I Adillah Al-Ahkaam, hlm. 131) Karena pada pada sanadnya terdapat rawi Abu Ma’syar Najiih. Kata Imam Al-Bukhari, “Dia Munkar Al-Hadiits.” (Lihat, Nashb Ar-Raayah Fii Takhriij Ahaadits Al-Hidaayah, IV:364)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar