Sabtu, 22 Desember 2012

KEDUDUKAN “ISBAL” TANPA SOMBONG [bag 1] Oleh Ustad Amin Saefullah Muchtar


Pakaian merupakan salah satu nikmat yang besar di antara nikmat-nikmat Allah. Di samping sebagai penutup aurat, melindungi tubuh, pakaian pun berfungsi sebagai penghias yang menambah keelokan dan kecantikan. Dengan pakaian, Allah mengingatkan manusia agar mengagungkan nikmat-nikmat-Nya serta menjaga diri dari keburukan.
Agar manusia terhindar dari keburukan dalam berpakaian, Allah telah menetapkan aturan yang jelas dan terperinci melalui sunah Rasul-Nya. Salah satu aturan itu menyangkut masalah isbal.
Tahrir al-Musthalahat: Kriteria Isbal
Dalam menjelaskan masalah ini Nabi saw. menggunakan beberapa  ungkapan berbeda. Dilihat dari aspek ini dapat diklasifikasikan menjadi 5 bentuk:
1.   ungkapan isbal dengan derivatnya (musbil, isbal, dan asbala)
2.  ungkapan jar dengan derivatnya (yajurru)
3.  ungkapan isbal dan jar sekaligus secara bersamaan
4.  ungkapan wathi-a
5.  Tanpa menggunakan ungkapan khusus. Bentuk ini dibagi lagi menjadi dua macam:
a) Tanpa disertai kalimat sebelum dan sesudah
b) Disertai kalimat sebelum dan sesudah
Sehubungan dengan itu tahrir al-musthalahat (penegasan makna terminologis) tentang isbal cukup penting. Selain menghidupkan kembali model dan tradisi para ulama Islam juga merupakan tuntutat logis agar tidak menciptakan kerancuan atau kebingungan (confusion), yang akhirnya mengaburkan dan bahkan menyesatkan, sebagaimana pengalaman diskusi tentang masalah ini di Jakarta dan Indramayu beberapa waktu yang lalu.

Pengertian Isbal: analisa Lughawi (bahasa)

Isbal adalah bentuk masdar dari asbala-yusbilu. Secara wadh’i (pembentukan lafal), kata asbala diambil dari as-sabal. Kata Majduddin al-Mubarak bin Muhamad (w. 660 H) atau yang lebih populer dengan sebutan Ibnul Atsir:
السَّبَل بالتحريك : الثِّيَابُ المُسْبَلةُ كالرَّسَل والنَشَر فِي المُرْسَلةِ والمَنْشُوْرَةِ . وَقِيْلَ : إِنَّهَا أَغْلَظُ مَا يَكُوْنُ مِنَ الثِّيَابِ تُتَّخَذُ مِنْ مُشاَقَةِ الكَتَّانِ
As-Sabal artinya at-tsiyab al-musbalah (baju yang diturunkan), seperti kata ar-Rasal (bermakna yang dikirim/dilepas) dan kata an-Nasyar (bermakna yang disyiarkan/dipancarkan). Dikatakan bahwa as-sabal adalah jenis baju paling tebal yang dibuat dari kapas rami (nama pohon)” Lihat, an-Nihayah fi Gharib al-Hadits, II:846

Berdasarkan penjelasan ini, maka secara wadh’i kata isbal memiliki makna khusus, yakni “memakai as-sabal atau memakai baju yang diturunkan”.

Pada perkembangan selanjutnya, penggunaan kata isbal secara bahasa dimaknai lebih umum tanpa memperhatikan konteks pembentukannya, artinya menjadi
الإِِْرْخَاءُ وَالإِِْطَالَةُ
“menurunkan dan memanjangkan”
Jamaluddin Muhamad bin Mukarram (W. 711 H) atau yang lebih popular dengan sebutan Ibnu Manzhur mengatakan:
أَسْبَلَ فُلاَنٌ ثِيَابَهُ إِِذَا طَوَّلَهَا وَأَرْسَلَهَا إِلَى الأَرْضِ
Seseorang dikatakan mengisbalkan bajunya apabila ia memanjangkan pakaian dan melabuhkannya ke tanah. Lihat, Lisan al-‘Arab, XI:319

Penjelasan para ahli di atas menunjukkan bahwa suatu perbuatan dikategorikan isbal secara bahasa dan pelakunya disebut musbil apabila memanjangkan pakaian dan melabuhkannya hingga tanah. Apabila pakaian itu semata-mata hanya menutup mata kaki, tanpa berlabuh hingga ke tanah tidak dapat disebut isbal secara bahasa. Selain itu, analisa bahasa tidak menjadikan motif, misalnya karena sombong, sebagai unsur kategori isbal.

Pengertian Isbal: analisa urfi khas (istilah)

Berbeda dengan makna bahasa, secara urf’i khas (istilah) isbal memiliki washfun khas (kriteria khusus). Kalimat isbal al-izar atau isbal ats-tsaub artinya menurunkan/melabuhkan izar (pakaian sejenis jubah) atau baju sampai ke tanah ketika berjalan karena sombong.
Syekh Ahmad bin Muhamad bin Ziyad (w. 340 H) atau yang lebih populer dengan sebutan Ibnul ‘Arabi berkata:
المُسْبِلُ الَّذِي يُطَوِّلُ ثَوْبَهُ ويُرْسِلُهُ إِِلَى الأَرْضِ إِذا مَشَى وإِنَّمَا يَفْعَلُ ذلِكَ كِبْراً وَاخْتِيَالاً
al-Musbil itu ialah orang yang memanjangkan baju dan melabuhkannya hingga tanah apabila berjalan, dan ia melakukannya tiada lain karena sombong dan berlaga menonjolkan diri. Lihat, Lisan al-Arab, XI:319; Taj al-Arus Min Jawahir al-Qamus, XXIX:162; an-Nihayah fi Gharib al-Hadits, II:846
Pernyataan Ibnul ‘Arabi ini dikukuhkan kembali oleh para ulama yang hidup pada generasi selanjutnya, antara lain:
A. Ibn al-Atsir (w. 660 H) dalam an-Nihayah fi Gharibil Hadits, II:846
B.  Abu Zakariya Yahya bin Syarf (W.676 H) atau yang lebih populer dengan sebutan Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim, II:116
C. Imam Abdurrahman bin Abu Bakar (W. 911 H) atau yang lebih populer dengan sebutan Imam as-Suyuthi dalam Hasyiah ‘ala Sunan Ibnu Majah, I:160
D. Muhamad Ali bin Muhamad al-Bakri as-Shadiqi (W. 1057 H) berkata:
الْمُسْبِلُ بِصِيْغَةِ الْفَاعِلِ مِنَ الإِسْبَالِ الْمُرْخِي لِثَوْبِهِ الْجَارُّ لَهُ خُيَلاَءَ فَهُوَ مَخْصُوْصٌ بِذلِكَ
Al-Musbil dengan sighah fa’il, dari kata al-isbal. Artinya yang menurunkan pakaiannya lagi menarik/menyeretnya karena sombong. Maka musbil dikhususkan dengan makna itu” Lihat, Dalil al-Falihin, VI:78
E.  Muhamad Syams al-Haq Abadi (W. 1310 H), berkata:
الإِسْبَالُ تَطْوِيْلُ الثَّوْبِ وَإِرْسَالُهُ إِلَى الأَرْضِ إِذَا مَشَى كِبْرًا
Al-Isbal itu ialah memanjangkan pakaian dan melabuhkannya ke tanah apabila berjalan karena takabbur. Lihat, ‘Aun al-Ma’bud Syarh Sunan Abu Daud, II:240
F.  Syekh Ibrahim al-Yazini (W. 1847 H) berkata:
وَيُقَالُ : مَرَّ فُلانٌ مُسْبِلاً إِذَا طَوَّلَ ثَوْبَهُ وَأَرْسَلَهُ إِلَى الأَرْضِ وَمَشَى كِبْراً وَاخْتِيَالاً
Dikatakan: Fulan lewat dalam keadaan isbal, (maknanya) apabila memanjangkan pakaian dan melabuhkannya ke tanah dan berjalan dalam keadaan sombong dan berlaga menonjolkan diri. Lihat, Nuz’ah ar-Raid wa Syir’ah al-Warid fi al-Mutaradif wa al-Mutawarid, hal 82

Berdasarkan rumusan para ulama di atas, dapat dipahami bahwa secara urfi khas (istilah) suatu perbuatan dapat dikategorikan Isbal dan pelakunya disebut musbil, apabila memenuhi washfun (sifat) sebagai berikut:
1.     Unsur mode, yaitu memanjangkan pakaian dan melabuhkannya hingga tanah
2.    Unsur motif, yaitu karena sombong
3.    Unsur aksi, yaitu idza masya (berjalan)
Karena itu, tidak dapat dikategorikan Isbal secara istilah:
1.   Apabila melabuhkan pakaian hingga menutup mata kaki/di bawah mata kakil, tanpa berlabuh ke tanah.
2.  Apabila melabuhkan pakaian hingga tanah/lantai ketika berdiri atau tanpa masya (berjalan)
3.  Apabila melabuhkan pakaian hingga tanah/lantai dan berjalan dihadapan orang lain bukan atas dasar kesombongan.
Untuk sifat yang ke-3 ini kami cenderung menyebutnya tidak termasuk isbal, bukan isbal yang boleh.

Dengan demikian, memahami kata isbal atau musbil dengan makna semata-mata melabuhkan pakaian hingga menutup mata kaki/di bawah mata kaki, hemat kami tidak memiliki landasan ilmiah yang jelas, baik secara lughawi maupun ‘urfi khas.

Pemahaman Hadis (1): ungkapan isbal dan derivatnya (musbil, isbal, dan asbala)

عَنْ أَبِيْ ذَرٍّ عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم  قَالَ: ثَلاَثَةٌ لاَ يُكَلِّمُهُمُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ وَلاَ يُزَكِّيْهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيْمٌ قَالَ فَقَرَأَهَا رَسُوْلُ اللهِ ثَلاَثَ مِرَارٍ قَالَ أَبُوْ ذَرٍّ خَابُوْا وَخَسِرُوْا مَنْ هُمْ يَا رَسُوْلَ اللهِ قَالَ : أَلْمُسْبِلُ  وَالْمَنَانُ وَالْمُنْفِقُ سِلْعَتَهُ بِالْحَلِفِ الْكَاذِبِ
Dari Abu Dzar, dari Nabi saw., beliau bersabda, “Tiga orang yang tidak akan diajak bicara, tidak akan diperhatikan, tidak akan disucikan oleh Allah pada hari kiamat, dan mereka mendapat siksa yang pedih” Kata Abu Dzar, “Rasulullah mengucapkannya sebanyak tiga kali” Abu Dzar berkata, “Siapa mereka yang celaka dan merugi itu wahai Rasulullah?” Rasul menjawab, “Orang yang berisbal, yang mengungkit-ungkit pemberian, dan menawarkan dagangannya dengan sumpah palsu”. H.r. Muslim, Shahih Muslim, I:102; Ibnu Hiban. Shahih Ibnu Hiban, XI:272; Ad-Darimi, Sunan Ad-Darimi, II:346-347; Al-Baihaqi, As-Sunanul Kubra, II:42; An-Nasai, Sunan An-Nasai, V:81; Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, II:744; Ibnu Abi Syaibah, Al-Mushannaf, V:165; Al-Bazzar, Musnad Al-Bazzar, IX:417; Ahmad, Musnad Ahmad, V:162. Redaksi di atas riwayat Muslim

Imam Ahmad juga meriwayatkan dengan redaksi:
إِنَّ اللهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى الْمُسْبِلِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Sesungguhnya Allah tidak akan memperhatikan al-musbil pada hari kiamat. H.r. Ahmad, al-Musnad, II:318, No. 8212.
Dalam riwayat al-Baihaqi (Syu’ab al-Iman, V:144, No. 6123) dengan redaksi:
لاَ يَنْظُرُ اللَّهُ إِلَى الْمُسْبِلِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Dalam riwayat an-Nasai dan at-Thabrani dengan redaksi:
إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لاَ يَنْظُرُ إِلَى مُسْبِلِ الإِزَارِ
Lihat, as-Sunan al-Kubra, V:488, No. 9699, Sunan an-Nasai, VIII:207, No. 5332, at-Thabrani, al-Mu’jamul Kabir, XII:41, No. 12.414

Dalam riwayat Ibn al-Ja’di dan ad-Dhiya al-Maqdisi dengan redaksi:
إِنَّ اللَّهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى المُسْبِلِ إِزَارَهُ
Lihat, al-Musnad Ibn al-Ja’di, I:328, No. 2249; al-Ahadits al-Mukhtarah, IV:96.

Dalam berbagai riwayat di atas, Nabi menggunakan ungkapan al-Musbil atau musbil al-izar, tanpa menjelaskan maksud al-musbil itu.
Sedangkan dalam riwayat-riwayat lain, maksud al-Musbil itu dijelaskan oleh Nabi sendiri sebagai berikut:
إِنَّ اللَّهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى مَنْ يَجُرُّ إِزَارَهُ بَطَرًا
Sesungguhnya Allah tidak akan memperhatikan orang yang menyeret sarungnya karena sombong. H.r. Muslim Shahih Muslim, III:1653, No. 2087
Dalam riwayat al-Bukhari dengan redaksi: 
لَا يَنْظُرُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلَى مَنْ جَرَّ إِزَارَهُ بَطَرًا
Allah tidak akan memperhatikan orang yang menyeret sarungnya karena sombong pada hari kiamat. Lihat, Shahih al-Bukhari, V:2182, No. 5451.
Dalam riwayat Malik (al-Muwatha, II:914, No. 1629) dengan redaksi:
لَا يَنْظُرُ اللَّهُ تبارك وتعالى يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلَى مَنْ جَرَّ إِزَارَهُ بَطَرًا
Dalam riwayat Abu Daud Thayalisi (al-Musnad, I:326, No. 2487) dengan redaksi:
لَا يَنْظُرُ اللَّهُ عز وجل إِلَى مَنْ جَرَّ إِزَارَهُ بَطَرًا
Dengan riwayat al-Bukhari, Muslim, Malik, dan Abu Daud at-Thayalisi di atas jelaslah bahwa arti al-musbil itu ialah man jarra izarahu bathran (orang yang menyeret kainnya karena sombong).
Selain menegaskan arti isbal, pada hadis itu Nabi juga menegaskan ‘illat at-tahrim (sebab keharamannya), yakni bathran (sombong).
Dengan demikian sungguh tepat para ulama ketika menjelaskan bahwa al-musbil adalah orang yang menurunkan/melabuhkan sarung atau baju sampai ke tanah ketika berjalan karena sombong. Sehubungan dengan itu, Ibn al-Atsir menegaskan:
وَقَدْ تَكَرَّرَ ذِكْرُ الإِسْبَالِ فِي الْحَدِيْثِ وَكُلُّهُ بِهذَا الْمَعْنَى
Dan sungguh kata isbal disebut berulang kali di dalam hadis dan semuanya bermakna demikian. Lihat, An-Nihayah fi Gharib al-Hadits, II:846

Misalnya ketika Nabi bersabda kepada Sufyan bin Sahl 
يَا سُفْيَانُ بْنُ سَهْلٍ ، لاَ تُسْبِلْ ، فَإِنَّ اللَّهَ لاَ يُحِبُّ الْمُسْبِلِينَ
Hai Sufyan bin Sahl, janganlah kamu berisbal karena Allah tidak menyukai orang yang isbal. H.r. Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, II:1183, No. 3574; Ibnu Abi Syaibah, al-Mushannaf, V:167, No. 24.835, at-Thabrani, al-Mu’jam al-Kabir, XX:423, No. 1024, Ibnu al-Ja’di, al-Musnad, I:322, No. 2235
Dalam riwayat at-Thabrani (al-Mu’jam al-Kabir, XX:423, No. 1023), an-Nasai (as-Sunan al-Kubra, V:488, No. 9804), dengan redaksi:
لاَ تُسْبِلْ إِزَارَكَ فَإِنَّ اللَّهَ لاَ يُحِبُّ الْمُسْبِلِينَ
Dalam riwayat Ibnu Hiban (Shahih Ibnu Hiban, XII:259, No. 5442) dengan redaksi: 
يَا سُفْيَانُ لاَ تُسْبِلْ إِزَارَكَ فَإِنَّ اللَّهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى الْمُسْبِلِينَ
Sejauh pengetahuan kami, di dalam hadis-hadis penggunaan kata isbal al-izar sebanyak 23 kali. Sedangkan musbil sebanyak 34 kali. Yang penting untuk diperhatikan, ketika Nabi menyebut dengan ungkapan isbal atau musbil itu, pada umumnya Nabi tidak menyertakan qayyid (pembatas/pembeda), baik dengan kata khuyala maupun bathran.

Hemat kami, hal ini menunjukkan bahwa ungkapan isbal atau musbil itu menunjukkan washfun li bayani halil ghalib (sifat ghalib sombong), yaitu cara berpakaian seperti ini merupakan perbuatan orang Arab jahiliyyah sebagai syi'ar al-mutakabbirin (simbol keangkuhan) orang takabur dalam berjalan (Lihat, penjelasan Ibnu Abdil Barr  dalam at-Tamhid, III:249 dan Ibnu Taimiyyah dalam Syarh al-Umdah fi al-Fiqh, IV:364).

Sehubungan dengan itu, Ibnu Duraid menegaskan:
والخُيَلاء: التَكَبُّرُ فِي الْمَشْيِ، وَلاَ يَكُوْنُ ذلِكَ إِلاَّ مَعَ سَحْبِ إِزَارٍ
Al-Khuyala adalah takabur dalam berjalan. Dan hal itu tidak akan terjadi kecuali dengan menyeret/menarik izar di atas tanah. Lihat, Jamharah al-Lughah, I:329

Sifat galib ini tampak jelas dengan melihat latarbelakang munculnya larangan isbal sebagai berikut:
Nabi ditanya oleh Abu Jura Jabir bin Sulem tentang isbal izar:
يَا رَسُول اللَّه ذَكَرْتَ إِسْبَالَ الْإِزَار فَقَدْ يَكُون بِالرَّجُلِ الْعَرَجُ , أَوْ الشَّيْءُ فَيَسْتَخْفِي مِنْهُ
“Wahai Rasulullah, Anda menyebut isbal al-Izar, maka terkadang seseorang itu dalam keadaan pincang atau terdapat sesuatu yang disembunyikannya”
Beliau menjawab:
لَا بَأْس إِلَى نِصْف السَّاق أَوْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ
“Tidak mengapa sampai tengah betis atau hingga mata kaki”.

Lalu Nabi menjelaskan latar belakang anjuran itu dengan menggambarkan peristiwa masa lalu:
إِنَّ رَجُلاً مِمَّنْ كَانَ قَبْلَكُمْ لَبِسَ بُرْدَيْنِ فَتَبَخْتَرَ فِيْهِمَا فَنَظَرَ إِلَيْهِ الرَّبُّ مِنْ فَوْقِ عَرْشِهِ فَمَقَتَهُ فَأَمَرَ الْأَرْضَ فَأَخَذَهُ فَهُوَ يَتَجَلْجَلُ فِي الْأَرْض فَاحْذَرُوا وَقَائِعَ اللَّهِ
“Sesungguhnya seorang laki-laki di antara kaum sebelum kamu memakai dua burdah (kain bergaris untuk diselimutkan), maka ia berjalan dengan gaya sombong pada dua burdah itu, maka Rab (Tuhan) melihat kepadanya dari atas singgasananya lalu Ia benci kepadanya. Maka Ia memerintah bumi, lalu bumi membinasakannya, maka ia ia tenggelam ke dalam bumi. Hati-hatilah kamu terhadap batas-batas Allah”.  H.r. Abu Daud at-Thayalisi, Abu Daud, an-Nasai, Ahmad, al-Baghawi, at-Thabrani, dan Ibnu Hiban. Lihat pula, al-'Uluwu li Alil Ghaffar, karya ad-Dzahabi I:41, dan al-Bayan wa at-ta'rif karya Ibrahim bin Muhamad al-Husaini, I:21.
Sedangkan dalam riwayat al-Bukhari dengan redaksi:
بَيْنَمَا رَجَلٌ مِمَّنْ كَانَ قَبْلَكُمْ يَجُرُّ إزَارَهُ مِنْ الْخُيَلَاءِ خُسِفَ بِهِ فَهُوَ يَتَجَلْجَلُ فِي الْأَرْضِ إلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
Tatkala seorang laki-laki di antara kaum sebelum kamu melabuhkan pakaiannya karena sombong, ia ditenggelamkan karenanya, ia tenggelam ke dalam bumi sampai hari kiamat. Shahih al-Bukhari, II:1285, No. 3297
Kata Imam at-Thabari, nama laki-laki itu adalah al-Haizan, dia dari Arab Persia. Ada juga yang menyebut namanya Qarun. Lihat, Fath al-Bari, I:329.

Dari dialog di atas tampak jelas latar belakang anjuran Nabi untuk menurunkan pakaian hingga nishf as-saq (setengah betis) atau al-ka’bain (dua mata kaki) itu tiada lain agar terpelihara dari  sikap takabbur orang-orang terdahulu. Dengan demikian yang menjadi substansi larangan/anjuran itu adalah terpelihara dari sikap takabbur bukan semata-mata melabuhkan pakaiannya.

Dari latar belakang inilah kita dapat memahami mengapa Nabi pernah menganjurkan beberapa orang sahabat untuk menurunkan pakaian hingga nishf as-saq (setengah betis) atau al-ka’bain (mata kaki), dengan sabdanya:
إِزْرَةُ الْمُسْلِمِ إِلَى نِصْفِ السَّاقِ أَوْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ
“Kaifiyyat menggunakan izar bagi seorang muslim adalah hingga setengah betis atau sampai dua mata kaki”.
Namun ketika Nabi melihat bahwa hal itu terasa berat kepada kaum muslimin, beliau bersabda: “ilal ka'bain (hingga kedua mata kaki)", sebagaimana diterangkan oleh Anas bin Malik
عَنْ أَنَسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْإِزَارُ إِلَى نِصْفِ السَّاقِ فَلَمَّا رَأَى شِدَّةَ ذَلِكَ عَلَى الْمُسْلِمِينَ قَالَ إِلَى الْكَعْبَيْنِ لَا خَيْرَ فِيمَا أَسْفَلَ مِنْ ذَلِكَ
Dari Anas, ia berkata; Rasulullah Saw. bersabda, “Izar (kain penutup badan) itu sampai pertengahan betis”. Ketika beliau melihat hal itu berat bagi kaum muslimin, beliau bersabda, “Sampai dua mata kaki, tiada kebaikan selebih dari pada itu”. H.r. Ahmad, al-Musnad, III:249

Tapi bagi orang-orang tertentu yang dikenal oleh Nabi terpelihara dari sikap takabbur dan syi'ar al-mutakabbirin, Nabi tidak menganjurkan demikian, bahkan memberi pernyataan yang tegas bahwa larangan itu berkaitan dengan kesombongan, sebagaimana kepada Abu Bakar ketika sarungnya  melorot dan beliau senantiasa menariknya ke atas, Rasulullah saw. bersabda kepadanya:
لَسْتَ مِمَّنْ يَفْعَلُهُ خُيَلَاءَ
“Kamu bukanlah orang yang berbuat itu karena sombong” H.r. al-Jama’ah
Dari pernyataan ini tampak jelas kesalahan orang yang berpendapat: “Abu Bakar dibenarkan isbal, karena dia tidak sengaja isbal”. Padahal yang dinafikan oleh Nabi adalah tidak sombongnya, bukan tidak sengaja isbal.

Demikian pula sikap Nabi kepada Abu Raihanah
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَقُوْلُ : مَنْ سَحَبَ ثِيَابَهُ لَمْ يَنْظُرِ اللهُ إِلَيْهِ  فَقَالَ أَبُوْ رَيْحَانَةَ : وَاللهِ لَقَدْ أَمْرَضَنِي مَا حَدَّثْتَنَا بِهِ فَوَاللهِ إِنِّي لَأُحِبُّ الْجَمَالَ حَتَّى إِنِّي أَجْعَلُهُ فِي شِرَاكِ نَعْلِيْ وَعَلَاقِ سَوْطِيْ أَفَمِنَ الْكِبْرِ ذَاكَ ؟ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ : إِنَّ اللهُ جَمِيْلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ وَيُحِبُّ أَنْ يَرَى أَثَرَ نِعْمَتِهَ عَلَى عَبْدِهِ وَلَكِنَّ الْكِبْرَ مَنْ سَفِهَ الْحَقَّ وَغَمِصَ النَّاسَ
Dari Ibnu Umar, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah Saw. bersabda, ‘Siapa yang menyeret bajunya di atas tanah Allah tidak akan memandang kepadanya pada hari Kiamat’. Lalu Abu Ruhainah berkata, “Demi Allah, sunggguh telah membuatku sakit apa yang Engkau katakan kapada kami. Demi Allah, sesungguhnya aku menyukai keindahan hingga aku membuat keindahan itu pada tali sandal dan sangkutan cambuk, apakah itu termasuk kesombongan?” Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah Maha Indah dan menyukai keindahan dan Ia menyukai agar terlihat “jejak” kenikmatan pada hambanya itu, namun al-kibru adalah orang yang merendahkan al-haq dan mencela/memandah kecil orang lain” H.r. Ibnu Asakir, Tarikh Dimasqa, XXXXIII:84; at-Thabrani, al-Mu’jam al-Ausath, V:60, No. 4668.
At-Thabarni meriwayatkan pula dengan redaksi lain:
عَنْ أَبِيْ رَيْحَانَةَ قَالَ ذَكَرَ قَوْمٌ عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ الْكِبْرَ فَقُلْتُ يَانَبِيَ اللهِ إِنِّي لأُحِبُّ الْجَمَالَ حَتَّى فِي عَلاَقَةِ سَوْطِيْ وَزِمَامِ نَعْلِيْ فَهَلْ تَخْشَى عَلَيَّ فِي ذلِكَ شَيْئًا قَالَ لاَ قُلْنَا فَمَا الْكِبْرُ قَالَ الْكِبْرُ الَّذِي يَبْطَرُ الْحَقَّ وَيَغْمَصُ النَّاسَ
Dari Abu Raihanah, ia berkata, “Suatu kaum menyebut al-kibru dekat Rasulullah saw. Lalu aku berkata, “Wahai Nabi Allah, sesungguhnya aku menyukai keindahan hingga pada sangkutan cambuk dan tali sandalku, apakah Anda khawatir saya termasuk dalam hal itu?” Beliau menjawab, “Tidak” Kami bertanya, “Apa yang dimaksud dengan al-Kibru?” Beliau menjawab, “al-Kibru adalah orang yang merendahkan/meremehkan al-haq dan mencela/memandah kecil orang lain” Lihat, al-Mu’jam al-Ausath, II:239, No. 1854

Dari latar belakang itu pula kita dapat memahami mengapa Ibnu Mas'ud mengisbalkan izarnya:
عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ أَنَّهُ كَانَ يُسْبِلُ إِزَارَهُ فَقِيْلَ لَهُ فِي ذلِكَ فَقَالَ إِنِّيْ رَجُلٌ حَمْشُ السَّاقَيْنِ
Dari Ibnu Mas'ud sesungguhnya ia mengisbalkan sarungnya, lalu ditanyakan kepadanya tentang hal itu. Maka ia menjawab, "Sesungguhnya aku seorang laki-laki yang kecil dua betisnya" H.r.Ibnu Abu Syaibah, al-Mushannaf, V:166

Demikian pula para ulama salaf seperti Abu Hanifah
وَكَانَ يَجُرُّهُ عَلَى الاَرْضِ فَقِيْلَ لَهُ اَوَ لَسْنَا نُهِيْنَا عَنْ هذَا فَقَالَ إِنَّمَا ذلِكَ لَذَوِي الْخُيَلاَءِ وَلَسْنَا مِنْهُمْ
Beliau menyeret bajunya di atas tanah, lalu dikatakan kepada beliau: “Bukankah kita dilarang dari hal demikian?” Maka beliau menjawab, "Yang dilarang itu tiada lain bagi yang sombong dan kita bukan dari mereka" Lihat, al-Adab as-Syar'iyyah, III:492-493

Pemahaman Hadis (2): ungkapan jar, yajurru, atau wathi’a

Berbeda dengan penggunaan ungkapan isbal atau musbil, ketika Nabi menyebut dengan ungkapan jarra atau yajurru atau wathi-a, Nabi selalu menyertakan qayyid, baik khuyala maupun bathran. Sebagaimana dapat dibaca pada hadis-hadis sebagai berikut:
مَنْ جَرَّ إِزَارَهُ لاَ يُرِيْدُ بِذلِكَ إِلاَّ الْمَخِيْلَةَ  فَإِنَّ اللهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ.
“Barangsiapa menyeret/menarik pakaiannya dengan maksud sombong, sesungguhnya Allah tidak akan memperhatikannya pada hari kiamat” H.r. Abu Awanah, Musnad Abu Awanah, V:247; Ahmad, Musnad Imam Ahmad, II:45.
Dalam riwayat lain dengan redaksi:
إِنَّ الَّذِيْ يَجُرُّ ثِيَابَهُ مِنَ الْخُيَلاَءِ  لاَ يَنْظُرُ اللهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ.
Sesungguhnya orang yang menyeret pakaiannya karena sombong, Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat. H.r. Muslim, Shahih Muslim, III: 1652; Al-Baihaqi, as-Sunan al-Kubra, II:233; Ahmad, Musnad Imam Ahmad II:5; Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, II:1181; dan pada  riwayat At-Thabrani menggunakan redaksi
مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ مِنَ الْخُيَلاَءِ فِي الدُّنْيَا لَمْ يَنْظُرِ اللهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Siapa yang menyeret pakaiannya karena sombong di dunia, Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat. Lihat, al-Mu’jam al-Kabir, II:130
مَنْ وَطِئَ عَلَى إِزَارِهِ خُيَلاَءَ ، وَطِئَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ 
Siapa yang menginjak sarungnya karena sombong, ia akan menginjak di neraka Jahanam. H.r. Ahmad, al-Musnad, III:437 dan IV:162; Abdullah (Anaknya) dalam Zawa’id al-Musnad, III:437 dan IV:237; Al-Bukhari, At-Tarikh al-Kabir, VIII:257 no. Rawi 2907; Abu Ya’la, Musnad Abu Ya’la, III:111-112,  Hadis no. 1542;  At-Thabrani, Al-Mu’jam al-Kabir, XXII:206, hadis No. 543-544; Ibnu Hajar dalam Al-Ishabah fi Tamyiz al-Shahabah, IX:125 dan X:237

Dari berbagai hadis di atas dapat disimpulkan bahwa hadis-hadis dengan ungkapan jarra atau yajurru atau wathi-a, beserta qayyid-nya, baik khuyala maupun bathran, merupakan tafsir (penjelas) hadis-hadis dengan ungkapan isbal atau musbil.

Dengan demikian, apabila kita sepakat untuk ittiba’ (mengikuti) kepada para pakar bahasa dan hadis di atas tentang pemaknaan isbal secara istilahi, maka persoalannya menjadi jelas, yaitu tidak ada hadis tentang isbal yang benar-benar mutlaq (bebas) dari qayyid (batasan), yakni motif sombong sebagai sebab.

Pemahaman hadis (3): Tanpa ungkapan khusus
Bentuk ini terbagi menjadi dua macam:
A. Tanpa disertai kalimat sebelum dan sesudah
مَا أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ مِنَ الإِزَارِ فَفِي النَّارِ
Izar yang dibawah mata kaki (tempatnya) di neraka. H.r.  al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, V:2182, No. 5450, an-Nasai, Sunan an-Nasai, VIII:207, No. 5331, Ahmad, al-Musnad, II:461, No. 9936
Dalam riwayat lain dengan redaksi
مَا تَحْتَ الْكَعْبَيْنِ مِنَ الإِزَارِ فِى النَّارِ
H.r.  an-Nasai, Sunan an-Nasai, VIII:207, No. 5330, Ahmad, al-Musnad, VI:257, No. 26.247, at-Thabrani, al-Mu’jam al-Kabir, VIII:233, No. 6971, Abdur Razaq, al-Mushannaf, V:166, No. 24.819

B. Disertai kalimat sebelum dan sesudahnya
 إِزَرَةُ الْمُؤْمِنِ إِلَى أَنْصَافِ سَاقَيْهِ لاَ جُنَاحَ عَلَيْهِ فِيْمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْكَعْبَيْنِ مَا أَسْفَلَ  مِنْ ذلِكَ فَفِي النَّارِ لاَ يَنْظُرُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلَى مَنْ جَرَّ إِزَارَهُ بَطَرًا
Batas sarung seorang mukmin sampai pertengahan betis, dan dibolehkan di atas mata kaki, dan yang dibawah mata kaki tempatnya di dalam neraka, dan barangsiapa menyeret sarungnya dengan sombong, Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat. H.r. Malik, al-Muwatha, II:914, Ahmad, al-Musnad, III:44, No. 11.415, Abu Daud, Sunan Abu Daud, IV:60, No. 4093, An-Nasai, as-Sunan al-Kubra, V:491, No. 9718, Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, II:1183
Dalam memahami hadis-hadis ini perlu disepakati kembali: apakah perilaku yang diungkap dalam hadis ini akan dimaknai isbal atau tidak? Dengan perkataan lain, hadis ini sebagai tafsir hadis-hadis dengan ungkapan isbal/musbil atau bukan? Bila disepakati sebagai tafsir isbal, maka hadis-hadis di atas tidak dapat dikategorikan sebagai hadis mutlaq. Namun bila diposisikan bukan sebagai tafsir, maka tidak mengherankan bila dikategorikan sebagai hadis mutlaq.
Hal ini penting ditegaskan karena terjadinya perbedaan sikap dalam masalah ini justru akibat perbedaan dalam memahami dan memposisikan hadis-hadis tersebut.


1 komentar:

  1. terimakasih, tambah ilmu. mudah"an bermanfaat buat semuanya.

    BalasHapus