Sabtu, 22 Desember 2012
KEDUDUKAN HUKUM ZAKAT PROFESI (2) oleh Ustad Amin Saefullah Muchtar
Ketentuan Haul (Masa 1 Tahun) Zakat Profesi
Menurut kelompok pertama meskipun zakat profesi itu disyariatkan, namun para sahabat dan tabiin berbeda pendapat tentang haul (ketentuan waktu pelaksanaan setahun) atas "harta penghasilan" itu. Di antara mereka ada yang menentapkan ketentuan setahun, dan ada pula yang tidak dan mewajibkan zakat dikeluarkan sesaat setelah seseorang memperoleh kekayaan penghasilan tersebut, antara lain:
1. Ibnu Abbas
Abu Ubaid meriwayatkan dari Ibnu Abbas tentang seorang laki-laki yang memperoleh penghasilan. Kata Ibnu Abas,
يُزَكِّيْهِ يَوْمَ يَسْتَفِيْدُهُ
"Ia mengeluarkan zakatnya pada hari memperolehnya." Lihat, Al-Amwal, hal. 413
Menurut Syekh al-Qardhawi, “Hadis tersebut shahih dari Ibnu Abbas, sebagaimana ditegaskan Ibnu Hazm. Hal itu menunjukkan ketiadaan ketentuan satu tahun bagi harta penghasilan, menurut yang difahami dari perkataan Ibnu Abbas. Tetapi Abu Ubaid berbeda pendapat mengenai itu, ‘Orang menafsirkan bahwa Ibnu Abbas memaksudkan penghasilan Itu berupa emas dan perak, sedangkan saya menganggapnya tidak demikian. Menurut saya ia sama sekali tidak mengatakan demikian karena tidak sesuai dengan pendapat umat. Ibnu Abbas sesungguhnya memaksudkannya zakat tanah, karena penduduk Madinah menamakan tanah harta benda. Bila Ibnu Abbas tidak memaksudkan demikian, maka saya tidak tahu apa maksud hadis tersebut’.
Abu Ubaid adalah imam dan ahli dalam persoalan zakat harta benda dan ini tidak bisa diragukan. Ia memiliki beberapa ijtihad dan tarjih yang cemerlang, yang sering saya kutip, namun saya menilai pendapatnya dalam masalah ini lemah; karena tidak sesuai dengan apa yang difahami dengan serta merta oleh umat dan dengan apa yang difahami oleh para ulama sebelumnya. Bila memang yang salah itu yang dimaksudkan maka ia tidak akan dipandang istimewa oleh Ibnu Abbas, yang banyak meriwayatkan darinya.
Pada dasarnya hadis tersebut harus difahami menurut zahirnya tanpa penafsiran, kecuali bila terdapat sesuatu yang menghambat pemahaman menurut zahirnya tersebut tetapi penghambat itu tidak ada.
Pendapat Abu Ubaid yang menyatakan terdapat penghambat untuk menerima pengertian zahir hadis tersebut tidak dapat diterima karena:
1. Ibnu Abbas tidak pernah menyendiri dari pendapat umat. Yaitu yang telah disepakati oleh Ibnu Mas'ud, Mu'awiyah, yang kemudian diikuti orang-orang sesudahnya seperti Umar bin Abdul Aziz, Hasan, Zuhri dan lain-lainnya.
2. Tidak merupakan keharusan bagi seorang sahabat yang mujtahid dalam masalah-masalah yang tidak ada nashnya, untuk menunggu pendapat ulama yang lain, kemudian mengumumkan pendapat dan ijtihadnya bila sesuai dan tidak mengumumkannya bila tidak sesuai dengan ulama yang lain. Bila demikian, maka tentu tak seorang mujtahid pun mau mengeluarkan pendapatnya. Yang benar adalah seorang- mujtahid harus mengeluarkan pendapatnya baik sesuai dengan pendapat yang lain atau tidak, yang kadang-kadang betul terjadi kesepakatan secara konkrit tetapi kadang-kadang tidak terjadi.
3. Sahabat yang mempunyai pendapat sendiri merupakan hal yang tak dapat dielakkan, dan hal tersebut tidak jarang terjadi dalam warisan hukum fikih kita. Ibnu Abbas misalnya mempunyai pendapat sendiri tentang perkawinan mut'ah, daging himar peliharaan, dan lain-lain. Pendapat Ibnu Abbas tersebut-bila benar-tidak bisa dibawa keluar dari zahirnya untuk disesuaikan dengan pendapat sahabat lainnya.
Abu Ubaid sendiri tidak mengharuskan penafsiran tersebut mesti diumumkan, tetapi mengatakan saya duga atau saya mengira, dan dalam penutup ia mengatakan, ‘Bila ia (Ibnu Abbas) tidak memaksudkan, maka saya tidak tahu apa maksud hadis tersebut?’.” Lihat, Fiqh al-Zakat, I:514-515
2. Ibnu Masud
Abu Ubaid meriwayatkan pula dari Hubairah bin Yaryam,
كَانَ عَبْدُ اللهِ بْنُ مَسْعُوْدٍ يُعْطِيْنَا الْعُطَاءَ فِي زُبُلٍ صِغَارٍ ثُمَّ يَأْخُذُ مِنْهُ الزَّكَاةَ
Abdullah bin Mas'ud memberikan kepada kami keranjang-keranjang kecil kemudian menarik zakatnya. Lihat, Al-Amwal, hal. 412
Menurut Syekh al-Qardhawi, “Abu Ubaid mentakwil hal itu bahwa zakatnya ditarik karena memang benda itu sudah wajib dikeluarkan zakatnya waktu itu, bukan karena diberikan. Dalam pentakwilan ini juga terjadi pemaksaan dan penyimpangan yang menyalahi makna yang dapat langsung difahami, dan menyalahi pula pendapat Ibnu Masud berdasarkan riwayat yang sahih bahwa maksud penarikan zakat itu adalah penarikan zakat atas pemberian. Hubairah mengatakan, ‘lbnu Masud mengeluarkan zakat pemberian yang ia terima sebesar dua puluh lima dari seribu’. Sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abu Syaibah dan at -Tabrani.
Pemotongan sebesar tertentu itu hampir sama dengan apa yang disebut oleh para ahli perpajakan sekarang dengan Pengurangan Sumber, dan bukan diambil karena telah jatuh tempo kewajiban masa setahun pada kekayaan lain. Bila Ibnu Masud mengambil zakat dari pemberian lain tentu ia tidak akan mengeluarkan zakat dari pemberian yang dikenakan dari kekayaan asalnya sebesar dua puluh lima dari setiap seribu yang mungkin lebih sedikit atau lebih banyak dari seharusnya. Barangkali Abu Ubaid belum mengetahui riwayat itu, sehingga dia memaksan melakukan takwil tersebut” Lihat, Fiqh al-Zakat, I:516
3. Muawiyah
Imam Malik meriwayatkan dari Ibnu Syihab bahwa orang yang pertama kali mengenakan zakat dari pemberian adalah Muawiyah bin Abi Sufyan. Al-Muwatha ma’a al-Muntaqa, II:95
Syekh al-Qardhawi berkata, “Barangkali yang ia (Ibnu Syihab) maksudkan adalah khalifah yang pertama kali mengenakan zakat atas pemberian, karena sebelumnya sudah ada yang mengenakan zakat atas pemberian, yaitu Ibnu Mas'ud sebagaimana sudah kami jelaskan. Atau barangkali dia belum mendengar perbuatan Ibnu Masud, karena Ibnu Masud berada di Kufah, sedangkan Ibnu Syihab berada di Madinah. Yang jelas adalah Muawiyah mengenakan zakat atas pemberian menurut ukuran yang berlaku dalam negara Islam, karena ia adalah khalifah dan penguasa umat Islam. Dan tidak diragukan lagi bahwa zaman Muawiyah penuh dengan kumpulan para sahabat yang terhormat. Apabila Muawiyah melanggar hadis Nabi atau ijmak yang mu’tabar (dapat dipertanggungjawabkan) tentu saja para sahabat tidak akan diam begitu saja. Para sahabat pernah tidak menyetujui Muawiyah tentang masalah lain, ketika Muawiyah memungut setengah sha gandum zakat fitrah sebagai pengganti satu sha bukan gandum, seperti pada hadis Abu Said al-Khudri sedangkan Mu'awiyah sendiri - meski dikatakan bahwa ucapannya terlalu berlebih-lebihan dan sering keliru - tidak bermaksud menyanggah sunah yang pasti bersumber dari Rasulullah saw.” Lihat, Fiqh al-Zakat, I:517-518
4. Umar Bin Abdul Aziz
Menurut Syekh al-Qardhawi, “Setelah empat periode kekholafahan Muawiyah, datanglah pembaru seratus tahun pertama, yaitu khalifah Umar bin Abdul Aziz. Pandangan baru yang diterapkannya adalah pemungutan zakat dari pemberian, hadiah, barang sitaan, dan lain-lain. Abu Ubaid menyebutkan bahwa bila Umar memberikan gaji seseorang ia memungut zakatnya, begitu pula bila ia mengembalikan barang sitaan. Dan Ia juga memungut zakat dari pemberian bila telah berada di tangan penerima (al-Amwal, hal. 432).
Dengan demikian kata ‘umalah adalah sesuatu yang diterima seseorang karena kerjanya, seperti gaji pegawai dan karyawan pada masa sekarang. Sedangkan harta sitaan (mazalim) adalah harta benda yang disita oleh penguasa karena tindakan tidak benar pada masa-masa yang telah silam dan pemiliknya menganggapnya sudah hilang atau tidak ada lagi, yang bila barang tersebut dikembalikan kepada pemiliknya merupakan penghasilan baru bagi pemilik itu. u'thiyat (pemberian) adalah harta seperti honorarium atau biaya hidup yang dikeluarkan oleh Baitul mal untuk tentara Islam dan orang-orang yang berada dibawah kekuasaannya.
Ibnu Abu Syaibah meriwayatkan bahwa Umar bin Abdul Aziz memungut zakat pemberian dan hadiah. Itu adalah pendapat Umar. Bahkan hadiah-hadiah atau bea-bea yang diberikan kepada para duta baik sebagai pemberian, tip, atau kado, ditarik zakatnya. Hal itu sama dengan apa yang dilakukan oleh banyak negara sekarang dalam pengenaan pajak atas hadiah-hadiah tersebut”. Lihat, Fiqh al-Zakat, I:518-519
Pandangan Para Ahli Fiqih
Mengenai pemungutan zakat dari "harta penghasilan" merupakan pendapat az-Zuhri, al-Hasan, dan Makhul, seperti yang diutarakan Ibnu Hazm. Pendapat serupa datang dari al-Auza'i. Bahkan Ahmad bin Hanbal diriwayatkan berpendapat serupa dengan itu. Ahmad berpendapat, dari beberapa orang bahwa orang itu mengeluarkan zakatnya ketika menerimanya.
Hal tersebut juga merupakan pendapat Nashir, Shadiq dan Baqir dari kalangan ulama Syi’ah sebagaimana juga mazhab Daud; bahwa barangsiapa yang memperoleh penghasilan sejumlah senisab, ia harus mengeluarkan zakatnya langsung.
Hujjah mereka adalah keumuman nash-nash yang mewajibkan zakat, seperti sabda Rasulullah s.a.w.: "Uang perak zakatnya 1/40." Muttafaq 'alaihi.
Berdasarkan hadis itu menurut mereka haul (masa setahun) bukan merupakan syarat, tetapi hanya merupakan tempo antara dua pengeluaran zakat dan tidak disyaratkan terpenuhinya nisab selain hanya pada saat harus dikeluarkan yaitu akhir tahun, sebagaimana dicontohkan Nabi yang memungut zakat pada akhir tahun, tanpa melihat keadaan harta tersebut pada awal tahun: cukup senisab atau tidak. Lihat, Fiqh al-Zakat, I:519-520
Pendapat Empat Imam Madzhab
Para imam mazhab empat berbeda pendapat tentang harta penghasilan. Abu Hanifah berpendapat bahwa harta penghasilan itu dikeluarkan zakatnya bila mencapai masa setahun penuh, kecuali jika pemiliknya mempunyai harta sejenis yang harus dikeluarkan zakatnya yang untuk itu zakat harta penghasilan itu dikeluarkan pada permulaan tahun dengan syarat sudah mencapai nisab. Dengan demikian bila ia memperoleh penghasilan sedikit ataupun banyak - meski satu jam menjelang waktu setahun dari harta yang sejenis tiba, ia wajib mengeluarkan zakat penghasilannya itu bersamaan dengan pokok harta yang sejenis tersebut, meskipun berupa emas, perak, binatang piaraan, atau anak-anak binatang piaraan atau lainnya.
Tetapi Malik berpendapat bahwa harta penghasilan tidak dikeluarkan zakatnya sampai penuh waktu setahun, baik harta tersebut sejenis dengan jenis harta pemiliknya atau tidak sejenis, kecuali jenis binatang piaraan. Karena itu orang yang memperoleh penghasilan berupa binatang piaraan bukan anaknya sedang ia memiliki binatang piaraan yang sejenis dengan yang diperolehnya, zakatnya dikeluarkan bersamaan pada waktu batas satu tahun binatang piaraan miliknya itu bila sudah mencapai nisab. Kalau tidak atau belum mencapai nisab maka tidak wajib zakat. Tetapi bila binatang piaraan itu berupa anaknya, maka anaknya itu dikeluarkan zakatnya berdasarkan masa setahun induknya, baik induk tersebut sudah mencapai nisab ataupun belum.
As-Syafi'i mengatakan bahwa harta penghasilan itu dikeluarkan zakatnya bila mencapai waktu setahun meskipun ia memiliki harta sejenis yang sudah cukup nisab. Tetapi zakat anak-anak binatang piaraan dikeluarkan bersamaan dengan zakat induknya yang sudah mencapai nisab, dan bila tidak mencapai nisab maka tidak wajib zakat.
Ibnu Hazm berpendapat bahwa pendapat-pendapat di atas adalah salah. Ia mengatakan bahwa salah satu bukti pendapat-pendapat itu salah adalah cukup dengan melihat ikhtilafnya semua pendapat itu, semuanya hanya dakwaan belaka dan yang saling bertentangan, yang tidak ada landasan salah satu pun dari semuanya, baik dari Quran atau hadis shahih ataupun dari riwayat yang dhaif sekalipun, tidak pula dari Ijmak dan Qias, dan tidak pula dari pemikiran dan pendapat yang dapat diterima (al-Muhallah, VI:84)
Dan Ibnu Hazm membuang semua perbedaan dan bagian yang salah tersebut dengan berpendapat bahwa ketentuan setahun berlaku bagi seluruh harta benda, uang penghasilan atau bukan, bahkan termasuk anak-anak binatang piaraan. Hal itu bertentangan dengan pendapat sahabanya, Daud az-Zahiri yang keluar dari pertentangan itu dengan pendapat bahwa seluruh harta penghasilan wajib zakat tanpa persyaratan setahun. Tetapi ia sendiri tidak bebas dari kesalahan serupa yang dilakukan oleh para imam madzhab di atas. Lihat, Fiqh al-Zakat, I:521.
Pendapat Syekh al-Qardhawi
Setelah membandingkan berbagai pendapat di atas dengan alasan masing-masing, diteliti nash-nash yang berhubungan dengan status zakat dalam bermacam-macam kekayaan, diperhatikan hikmah dan maksud pembuat syariat mewajibkan zakat, dan diperhatikan pula kebutuhan Islam dan umat Islam pada masa sekarang ini, maka Syekh al-Qardhawi berpendapat bahwa harta hasil kerja seperti gaji pegawai, upah karyawan, pendapatan dokter, insinyur, advokat dan profesi tertentu lainnya, juga pendapatan yang diperoleh dari modal yang diinvestasikan di luar sektor perdagangan, seperti pada mobil, kapal, kapal terbang, percetakan, tempat- tempat hiburan, dan lain-lainnya, wajib terkena zakat tanpa persyaratan satu tahun dan dikeluarkan pada waktu diterima.
Adapun argumentasi beliau antara lain:
1. Persyaratan satu tahun dalam seluruh harta termasuk harta penghasilan tidak berdasar nash yang mencapai tingkat shahih atau hasan yang darinya bisa diambil ketentuan hukum Syara' yang berlaku umum bagi umat. Hal itu berdasarkan ketegasan para ulama hadis dan pendapat sebagian para sahabat yang diakui kebenarannya sebagaimana telah kita terangkan.
2. Para sahabat dan tabiin memang berbeda pendapat dalam harta penghasilan: sebagian mempersyaratkan adanya masa setahun, sedangkan sebagian lain tidak mempersyaratkan satu tahun itu sebagai syarat wajib zakat tetapi wajib pada waktu harta penghasilan tersebut diterima oleh seorang muslim. Perbedaan mereka itu tidak berarti bahwa salah satu lebih baik daripada yang lain, oleh karena itu persoalannya dikembalikan pada nash-nash yang lain dan kaedah-kaedah yang lebih umum, misalnya firman Allah: "Bila kalian berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Quran) dan kepada Rasul (hadis)." (An-Nisa,: 59).
3. Ketiadaan nash ataupun ijmak dalam penentuan hukum zakat harta penghasilan membuat mazhab-mazhab yang ada berselisih pendapat tajam sekali, yang mengakibatkan Ibnu Hazm sampai menilainya sebagai dugaan-dugaan belaka, penadapat yang saling bertentangan yang tidak ada dasar kebenarannya, tidak dari Quran atau hadis shahih atau riwayat yang daif sekalipun, maupun dari Ijmak dan Qias, dan dari pemikiran dan pendapat yang sekiranya dapat diterima. Saya sudah melakukan penjajagan atas perbedaan-perbedaan pendapat di antara mazhab-mazhab, metode dan perbedaan pentashihan dan pentarjihan masing-masing mazhab. Saya menemukan pula berpuluh-puluh persoalan dan persoalan lebih jauh yang ditimbulkannya mengenai harta penghasilan itu, digabungkankah penghasilan itu dengan harta induknya atau tidak, ataukah sebagian digabungkan dan sebagian lagi tidak.
Penggabungan tersebut dalam hal nisab, tahun, ataukah dalam keduanya. Beberapa diskusi berkisar mengenai masalah itu dalam hal zakat binatang, zakat uang, zakat perdagangan, dan persoalan-persoalan kecil lainnya Semuanya itu membuat saya menilai bahwa adalah tidak mungkin syariat yang sederhana dan berbicara untuk seluruh umat manusia membawa persoalan-persoalan kecil yang sulit dilaksanakan sebagai kewajiban bagi seluruh umat.
4. Mereka yang tidak mempersyaratkan satu tahun bagi syarat harta penghasilan wajib zakat lebih dekat kepada nash yang berlaku umum dan tegas di atas daripada mereka yang mempersyaratkannya, karena nash-nash yang mewajibkan zakat baik dalam Quran maupun sunnah datang secara umum dan tegas dan tidak terdapat di dalamnya persyaratan setahun. Misalnya, "Berikanlah seperempat puluh harta benda kalian," Harta tunai mengandung kewajiban seperempat puluh dan dikuatkan oleh keumuman firman Allah "Hai orang-orang yang beriman keluarkanlah sebagian hasil usaha kalian." (al-Baqarah: 267) Kata ma kasabtum merupakan kata umum yang artinya mencakup segala macam usaha: perdagangan, atau pekerjaan dan profesi. Para ulama fikih berpegang kepada keumuman maksud ayat tersebut sebagai landasan zakat perdagangan, yang oleh karena itu kita tidak perlu ragu memakainya sebagai landasan zakat penghasilan dan profesi. (bersambung)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar